Sabtu, 15 Oktober 2011

KONSEP MATEMATIKA REALISTIS


BAB I

PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Matematika adalah salah satu ilmu dasar, yang semakin dirasakan interkasinya dengan bidang-bidang ilmu lainnya seperti ekonomi dan teknologi. Peran matematika dalam interaksi ini terletak pada struktur ilmu dan perlatan yang digunakan. Ilmu matematika sekarang ini masih banyak digunakan dalam berbagai bidang seperti bidang industri, asuransi, ekonomi, pertanian, dan di banyak bidang sosial maupun teknik. Mengingat peranan matematika yang semakin besar dalam tahun-tahun mendatang, tentunya banyak sarjana matematika yang sangat dibutuhkan yang sangat terampil, andal, kompeten, dan berwawasan luas, baik di dalam disiplin ilmunya sendiri maupun dalam disiplin ilmu lainnya yang saling menunjang. Untuk menjadi sarjana matematika tidaklah mudah, harus benar-benar serius dalam belajar, selain harus belajar matematika, kita juga harus mempelajari bidang-bidang ilmu lainnya. Sehingga, jika sudah menjadi sarjana matematika yang dalam segala bidang bisa maka sangat mudah untuk mencari pekerjaan.

Kata matematika berasal dari kata “mathema” dalam bahasa Yunani yang diartikan sebagai “sains, ilmu pengetahuan atau belajar.” Disiplin utama dalam matematika di dasarkan pada kebutuhan perhitungan dalam perdagangan, pengukuran tanah, dan memprediksi peristiwa dalam astronomi. Ketiga kebutuhan ini secara umum berkaitan dengan ketiga pembagian umum bidang matematika yaitu studi tentang struktur, ruang, dan perubahan. Pelajaran tentang struktur yang sangat umum dimulai dalam bilangan natural dan bilangan bulat, serta operasi aritmatikanya, yang semuanya dijabarkan dalam aljabar dasar. Sifat bilangan bulat yang lebih mendalam dipelajari dalam teori bilangan. Ilmu tentang ruang berawal dari geometri. Dan pengertian dari perubahan pada kuantitas yang dapat dihitung adalah suatu hal yang biasa dalam ilmu alam dan kalkulus.

Dalam perdagangan sangat berkaitan erat dengan matematika karena dalam perdagangan pasti akan ada perhitungan, di mana perhitungan tersebut bagian dari matematika. Secara tidak sadar ternyata semua orang menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari seperti jika ada orang yang sedang membangun rumah maka pasti orang tersebut akan mengukur dalam menyelesaikan pekerjaannya itu. Oleh karena itu matematika sangat bermanfaat sekali dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek yang bersifat abstrak ini dapat menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Prestasi matematika siswa baik secara nasional maupun internasional belum menggembirakan. Dalam pembelajaran matematika siswa belum bermakna, sehingga pengertian siswa tentang konsep sangat lemah.

“Menurut Jenning dan Dunne (1999) mengatakan bahwa, kebanyakan siswa mengalami kesulitan dalam mengaplikasikan matematika ke dalam situasi kehidupan real.” Hal ini yang menyebabkan sulitnya matematika bagi siswa adalah karena dalam pembelajaran matematika kurang bermakna, dan guru dalam pembelajarannya di kelas tidak mengaitkan dengan skema yang telah dimiliki oleh siswa dan siswa kurang diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide-ide matematika. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata, anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas sangat penting dilakukan agar pembelajaran matematika bermakna.

Menurut Van de Henvel-Panhuizen (2000), bila anak belajar matematika terpisah dari pengalaman mereka sehari-hari, maka anak akan cepat lupa dan tidak dapat mengaplikasikan matematika. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah pembelajaran matematika realistik.

Pembelajaran matematika relaistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Pembelajaran matematika harus dekat dengan anak dan kehidupan nyata sehari-hari.

Biasanya ada sebagian siswa yang menganggap belajar matematika harus dengan berjuang mati-matian dengan kata lain harus belajar dengan ekstra keras. Hal ini menjadikan matematika seperti “monster” yang mesti ditakuti dan malas untuk mempelajari matematika. Apalagi dengan dijadikannya matematika sebagai salah satu diantara mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional yang merupakan syarat bagi kelulusan siswa-siswi SMP maupun SMA, ketakutan siswa pun makin bertambah. Akibat dari pemikiran negatif terhadap matematika, perlu kiranya seorang guru yang mengajar matematika melakukan upaya yang dapat membuat proses belajar mengajar bermakna dan menyenangkan. Ada beberapa pemikiran untuk mengurangi ketakutan siswa terhadap matematika.

Salah satunya dengan cara pembelajaran matematika realistik dimana pembelajaran ini mengaitkan dan melibatkan lingkungan sekitar, pengalaman nyata yang pernah dialami siswa dalam kehidupan sehari-hari, serta menjadikan matematika sebagai aktivitas siswa. Dengan pendekatan RME tersebut, siswa tidak harus dibawa ke dunia nyata, tetapi berhubungan dengan masalah situasi nyata yang ada dalam pikiran siswa. Jadi siswa diajak berfikir bagaimana menyelesaikan masalah yang mungkin atau sering dialami siswa dalam kesehariannya.

Pembelajaran sekarang ini selalu dilaksanakan di dalam kelas, dimana siswa kurang bebas bergerak, cobalah untuk memvariasikan strategi pembelajaran yang berhubungan dengan kehidupan dan lingkungan sekitar sekolah secara langsung, sekaligus mempergunakannya sebagai sumber belajar. Banyak hal yang bisa kita jadikan sumber belajar matematika, yang penting pilihlah topik yang sesuai misalnya mengukur tinggi pohon, mengukur lebar pohon dan lain sebagainya.

Siswa lebih baik mempelajari sedikit materi sampai siswa memahami, mengerti materi tersebut dari pada banyak materi tetapi siswa tidak mengerti tersebut. Meski banyak tuntutan pencapaian terhadap kurikulum sampai daya serap namun dengan alokasi yang terbatas. Jadi guru harus memberanikan diri menuntaskan siswa dalam belajar sebelum ke materi selanjutnya karena hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman siswa dalam belajar matematika.

Kebanyakan siswa, belajar matematika merupakan beban berat dan membosankan, jadinya siswa kurang termotivasi, cepat bosan dan lelah. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi hal di atas dengan melakukan inovasi pembelajaran. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain memberikan kuis atau teka-teki yang harus ditebak baik secara berkelompok ataupun individu, memberikan permainan di kelas suatu bilangan dan sebagainya tergantung kreativitas guru. Jadi untuk mempermudah siswa dalam pembelajaran matematika harus dihubungkan dengan kehidupan nyata yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tujuan Penulisan

Suatu pembelajaran matematika tidaklah sulit, ada cara untuk mempermudah dalam belajar matematika yaitu dengan cara Pembelajaran Matematika Realistik. Dimana pembelajaran ini menghubungkan dengan kehidupan sehari-hari. Dalam penulisan makalah ini bertujuan:
1.      Untuk mempermudah siswa dalam belajar matematika dapat menggunakan dalam pembelajaran matematika realistik.
2.      Guru dalam menyampaikan materi harus mempunyai strategi dalam pembelajaran matematika, supaya siswa tidak bosan dalam pembelajaran matematika.
3.      Supaya siswa mengetahui betapa menyenangkan mempelajari matematika.
4.      Untuk mengetahui lebih jelas lagi tentang pembelajaran matematika realistik.
5.      Untuk memaparkan secara teori pembelajaran matematika realistik.
6.      Untuk pengimplementasian pembelajaran matematika realistik.
7.      Kaitan antara pembelajaran matematika realistik dengan pengertian.
Pertanyaan Penulisan
·         Apa yang dimaksud dengan pembelajaran matematika realistik?
·         Bagaimana cara strategi seorang guru dalam pembelajaran matematika supaya siswa menyukai pembelajaran matematika?
·         Kenapa matematika tidak disukai oleh siswa?
·         Karakteristik apa saja yang ada dalam RME?
·         Mengapa siswa selalu lupa dengan konsep yang telah dipelajari?





















BAB II

PEMBAHASAN


1. Matematika Realistik (MR)
Matematika realistik yang dimaksudkan dalam hal ini adalah matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menemaptkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Masalah-masalah realistik digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Pembelajaran matematika realistik di kelas berorientasi pada karakteristik RME, sehingga siswa mempunyai kesempatan untuk menemukan kembali konsep-konsep matematika. Dan siswa diberi kesempatan untuk mengaplikasikan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari. Karakteristik RME menggunakan: konteks “dunia nyata”, model-model, produksi dan kontruksi siswa, interaktif dan keterkaitan. (Trevers, 1991; Van Heuvel-Panhuizen, 1998). Di sini akan mencoba menjelaskan tentang karakteristik RME.
Menggunakan konteks “dunia nyata” yang tidak hanya sebagai sumber matematisasi tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. Pembelajaran matematika realistik diawali dengan masalah-masalah yang nyata, sehingga siswa dapat menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung. Proses pencarian (inti) dari proses yang sesuai dari situasi nyata yang dinyatakan oleh De Lange (1987) sebagai matematisasi konseptual. Dengan pembelajaran matematika realistik siswa dapat mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian siswa juga dapat mengaplikasikan konep-konsep matematika ke bidang baru dan dunia nyata. Oleh karena itu untuk membatasi konsep-konsep matematika dengan pengalaman sehari-hari perlu diperhatikan matematisasi pengalaman sehari-hari dan penerapan matematika dalam sehari-hari.
Menggunakan model-model (matematisasi) istilah model ini berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri. Dan berperan sebagai jembatan bagi siswa dari situasi real ke situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal. Artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Model situasi merupakan model yang dekat dengan dunia nyata siswa. Generalisasi dan formalisasi model tersebut. Melalui penalaran matematika model-of akan bergeser menjadi model-for masalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi model matematika formal.
Menggunakan produksi dan konstruksi streefland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi-strategi formal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah konstekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
Menggunakan interaktif. Interaktif antara siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam pembelajaran matematika realistik. Bentuk-bentuk interaktif antara siswa dengan guru biasanya berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan, digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
Menggunakan keterkaitan dalam pembelajaran matematika realistik. Dalam pembelajaran ada keterkaitan dengan bidang yang lain, jadi kita harus memperhatikan juga bidang-bidang yang lainnya karena akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika biasanya diperlukan pengetahuan yang kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
2. Pembelajaran Matematika Realistik
Pembelajaran matematika realistik merupakan teori belajar mengajar dalam pendidikan matematika. Teori pembelajaran matematika realistik pertama kali diperkenalkan dan dikembangkan di Belanda pada tahun 1970 oleh Institut Freudenthal. Freudenthal berpendapat bahwa matematika harus diartikan dengan realita dan matematika merupakan aktivitas manusia. Dari pendapat Freudenthal memang benar alangkah baiknya dalam pembelajaran matematika harus ada hubungannya dengan kenyataan dan kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu manusia harus diberi kesempatan untuk menemukan ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa. Matematika harus dekat dengan anak dan kehidupan sehari-hari. Upaya ini dilihat dari berbagai situasi dan persoalan-persoalan “realistik”. Realistik ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas pada realitias tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan.
Adapun menurut pandangan konstruktifis pembelajaran matematika adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi. Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Dalam pembelajaran matematika guru memang harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan kemampuan siswa sendiri dan guru terus memantau atau mengarahkan siswa dalam pembelajaran walaupun siswa sendiri yang akan menemukan konsep-konsep matematika, setidaknya guru harus terus mendampingi siswa dalam pembelajaran matematika.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada:
1.      Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
2.      Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
3.      Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
4.      Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Pendapat Davis tersebut, dalam pembelajaran matematika siswa mempunyai pengetahuan dalam berpikir melalui proses akomodasi dan siswa juga harus dapat menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya. Siswa mengetahui informasi baru dikaitkan dengan pengalaman sehari-hari secara logis, dalam pembelajaran ini harus bisa memahami dan berpikir sendiri dalam menyelesaikan masalah tersebut, jadi tidak tergantung kepada guru, siswa juga dapat mempunyai cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah.
Konstruktivis ini dikritik oleh Vygotsky, yang menyatakan bahwa siswa dalam mengkonstruksi suatu konsep perlu memperhatikan lingkungan sosial. Konstruktivisme ini oleh Vygotsky disebut konstruktisme sosial (Taylor, 1993; Wilson, Teslow dan Taylor, 1993; Atwel, Bleicher dan Cooper, 1998). Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding. Zone of Proximal Development (ZPD) merupakan jarak antara tingkat perkembangan sesungguhnya yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial yang didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerja sama dengan teman sejawat yang lebih mampu. Scraffolding merupakan pemberian sejumlah bantuan kepada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi bantuan dan memberi kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1997). Jadi Zone of Proximal Development ini ada siswa yang menyelesaikan masalah secara sendiri, dan ada siswa yang menyelesaikan masalah harus dengan persetujuan orang dewasa. Sedangkan scraffolding mempunyai tahap-tahap pembelajaran, dalam pembelajaran awal siswa dibantu, tapi bantuan itu sedikit demi sedikit dikurangi. Setelah itu siswa diberikan kesempatan untuk menyelesaikan masalah sendiri dan mempunyai tanggung jawab yang semakin besar setelah siswa dapat melakukannya. Scraffolding merupakan bantuan yang diberikan kepada siswa untuk belajar memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam langkah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Prinsip penemuan dapat diinspirasikan oleh prosedur-prosedur pemcahan informal, sedangkan proses penemuan kembali menggunakan konsep matematisasi. Ada dua jenis matematisasi diformlasikan oleh Treffers (1991), yaitu matematisasi horizontal dan vertikal. Contoh matematisasi horizontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasian masalah dalam cara-cara yang berbeda dan pentransformasian masalah dunia real ke dunia matematika. Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam rumus, perbaikan dan penyelesaian model matematika, penggunaan model-model yang berbeda dan penggeneralisasian. Kedua jenis ini mendapat perhatian seimbang, karena kedua matematisasi ini mempunyai nilai yang sama. Berdasarkan matematisasi horizontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dibedakan menjadi empat jenis yaitu mekanistik, empiristik, strukturalistik, dan realistik.
Pendekatan mekanistik adala pendekatan secara tradisional dan didasarkan pada apa yang diketahui dan pengalaman sendiri. Pendekatan empiristik adalah suatu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan dan siswa diharapkan dapat menemukan sendiri melalui matematisasi horizontal, pendekatan strukturalistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya dalam pengajaran penjumlahan secara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal. Pendekatan realistik adalah suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran. Melalui aktivitas matematisasi horizontal dan vertilal diharapkan siswa dapat menemukan konsep-konsep matematika.
Filsafat konstruktivis sosial memandang kebenaran matematika tidak bersifat absolut dan mengidentifikasi matematika sebagai hasil dari pemecahan masalah dan pengajuan masalah oleh manusia (Ernest, 1991). Dalam pembelajaran matematika, Cobb, Yackel dan Wood (1992) menyebutnya dengan konstruktivisme sosio. Siswa berinteraksi dengan guru, dan berdasarkan pada pengalaman informal siswa mengembangkan strategi-strategi untuk merespon masalah yang diberikan. Karakteristik pendekatan konstrutivis sosio ini sangat sesuai dengan karakteristik RME. Konsep ZPD dan Scraffolding dalam pendekatan konstruktivis sosio, di dalam pembelajaran matematika realistik disebut dengan penemuan kembali terbimbing. Menurut Graevenmeijer (1994) walaupun kedua pendekatan ini mempunyai kesamaan tetapi kedua pendekatan ini dikembangkan secara terpisah. Perbedaan keduanya adalah pendekatan konstruktivis sosio merupakan pendekatan pembelajaran yang bersifat umum, sedangkan pembelajaran matematika realistik merupakan pendekatan khusus yaitu hanya dalam pembelajaran matematika.
3. Implementasi pembelajaran Matematika Realistik
Untuk memberikan gambaran tentang implementasi pembelajaran matematika realistik, misalnya diberikan contoh tentang pembelajaran pecahan di sekolah dasar (SD). Sebelum mengenalkan pecahan kepada siswa sebaiknya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bilangan yang sama misalnya pembagian kue, supaya siswa memahami pembagian dalam bentuk yang sederhana dan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga siswa benar-benar memahami pembagian setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru diperkenalkan istilah pecahan. Pembelajaran ini sangat berbeda dengan pembelajaran bukan matematika realistik dimana siswa sejak awal dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan.
Pembelajaran matematika realistik diawali dengan dunia nyata, agar dapat memudahkan siswa dalam belajar matematika, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
4.      Kaitan Antara Pembelajaran Matematik Realistik dengan Pengertian
Kalau kita perhatikan para guru dalam mengajarkan matematika senantiasa terlontar kata “bagaimana, apa mengerti?” siswa pun buru-buru menjawab mengerti. Siswa sering mengeluh, seperti berikut,”pak…pada saat di kelas saya mengerti penjelasan bapak,tetapi begitu sampai dirumah saya lupa,”atau” pak…pada saat dikelas saya mengerti contoh yang bapak berikan, tetapi saya tidak bisa menyelesaikan soal-soal latihan”.
Apa yang dialami oleh siswa pada ilustrasi diatas menunjukkan bahwa siswa belum mengerti atau belum mempunyai pengetahuan konseptual. Siswa yang mengerti konsep dapat menemukan kembali konsep yang mereka lupakan.
Mitzell(1982) mengatakan bahwa, hasil belajar siswa secara langsung dipengaruhi oleh pengalaman siswa dan faktor internal. Pengalaman belajar siswa dipengaruhi oleh unjuk kerja guru. Bila siswa dalam belajarnya bermakna atau terjadi kaitan antara informasi baru dengan jaringan representasi, maka siswa akan mendapatkan suatu pengertian. Mengembangkan pengertian merupakan tujuan pengajaran matematika. Karena tanpa pengertian orang tidak dapat mengaplikasikan prosedur, konsep, ataupun proses. Dengan kata lain, matematika dimengerti bila representasi mental adalah bagian dari jaringan representasi (Hieber dan carpenter,1992). Matematika bukan hanya dimengerti tapi harus benar-benar memahami persoalan yang sedang dihadapi. Umumnya sejak anak-anak orang telah mengenal ide matematika. Melalui pengalaman dalam kehidupan sehari-hari mereka mengembangkan ide-ide yang lebih kompleks, misalnya tentang bilangan, pola, bentuk, data, ukuran,dan sebagainya. Anak sebelum sekolah belajar ide matematika secara alamiah. Hal ini menunjukkan bahwa siswa datang kesekolah bukanlah dengan kepala “kosong” yang siap diisi dengan apa saja. Pembelajaran disekolah akan lebih bermakna bila guru mengaitkan dengan apa yang telah diketahui anak. Pengertian siswa tentang ide matematika dapat dibangun melalui sekolah, jika mereka secara aktif mengaitkan dengan pengetahuan mereka. Hanna dan yackel (NCTM,2000) mengatakan bahwa belajar dengan pengertian dapat ditingkatkan melalui interaksi kelas dan interaksi sosial dapat digunakan untuk memperkenalkan keterkaitan di antara ide-ide dan mengorganisasikan pengetahuan kembali. Dalam pembelajaran guru haruslah berinteraksi dengan siswa, agar siswa lebih mudah memahami apa yang telah diajarkan, tentunya dalam pembelajaran harus dikaitkan dengan kehidupan nyata untuk memudahkan siswa dalam belajar.
Pembelajaran matematika realistik memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan kembali dan memahami konsep-konsep matematika berdasarkan pada masalah realistik yang diberikan oleh guru. Situasi realistik dalam masalah memungkinkan siswa menggunkan cara-cara informal untuk menyelesaikan masalah. Cara-cara informal siswa yang merupakan produksi siswa memegang peranan penting dalam penemuan kembali dan memahami konsep. Hal ini berarti informasi yang diberikan kepada siswa telah dikaitkan dengan skema anak. Melalui interaksi kelas keterkaitan skema anak akan menjadi lebih kuat. Dengan demikian, pembelajaran matematika realistik akan mempunyai kontribusi yang sangat tinggi dengan pengertian siswa.




















BAB III

PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka sebagai simpulan dapat disampaikan beberapa hal. Matematika realistik merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran dan melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika. Selanjutnya siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Dengan kata lain pembelajaran matematika realistik berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari, sehingga siswa belajar dengan bermakna (pengertian).
Pembelajaran matematika realistik berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran mateamtika realistik. Sesuai dengan simpulan diatas maka disarankan :
1.      Kepada pakar atau pecinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi pada pembelajaran matematika realistik sehingga diperoleh global theory pembelajaran matematika realistik yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia.
2.      Kepada guru-guru matematika untuk mencoba pengimplementasikan pembelajaran matematika realistik secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi siswa menyampaikan pendapat.
3.      Marilah kita tingkatkan lagi dalam belajar matematika dengan cara kenyataan dan kehidupan sehari-hari, agar mudah dipahami oleh siswa, sehingga siswa menyukai matematika dan matematika tidak sulit. Dengan pembelajaran MR para siswa akan mudah memahami karena dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari.

MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MELALUI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING BIDANG STUDI IPA KELAS III DI SD NEGERI GUNUNGSARI 01 KECAMATAN BATANGAN KABUPATEN PATI

ii
MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR MELALUI
PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING
BIDANG STUDI IPA KELAS III
DI SD NEGERI GUNUNGSARI 01
KECAMATAN BATANGAN
KABUPATEN PATI
S K R I P S I
Diajukan dalam rangka menyelesaikan Studi Strata I
Untuk mencapai gelar Sarjana Pendidikan
Oleh :
Nama : ANDRIAN NUR CAHYONO
NIM : 1124000021
Jurusan : Kurikulum dan Teknologi Pendidikan
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2005
iii
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di dalam Sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan
Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas
Negeri Semarang pada :
Hari : Kamis
Tangal : 17 Maret 2005
Panitia Ujian:
Ketua
Drs. H. Siswanto, MM
NIP. 130515769
Sekretaris
Drs. Sukirman, M.Si
NIP. 13157006
Penguji I
Drs. Haryanto
NIP. 131404301
Penguji II
Drs. Hardjono
NIP. 130781006
Penguji III
Drs. Sukirman, M.Si
NIP. 13157006
iv
PERNYATAAN
Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi ini benar-benar hasil karya
kerja sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain, baik sebagian atau
seluruhnya. Pendapat dan temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini
dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Semarang, 10 Februari 2005
Andrian Nur Cahyono
NIM. 1124000021
v
MOTO DAN PERSEMBAHAN
Motto :
Sambunglah persaudaraanmu kembali terhadap orang yang memutuskan
hubungan denganmu, berbuat baiklah kepada orang yang berbuat buruk
terhadapmu dan katakanlah yang hak sekalipun akan merugikan dirimu sendiri
(HR. Ibnu Annajar).
Kemana kaki melangkah disitulah kita belajar (Penulis).
Aku berikan karya skripsi ini atas cinta bakti dan sayang kepada:
Bapak dan Ibu (Sungkono, Nur Nawangsih),
Kakak sebagai hadiah (Adi),
Keluarga besar di Pati,
Seseorang telah memberikanku motivasi (tya, igo),
Teman-temanku di cost Lumut Biru, cost Adefiit, cost Litium,
Kawan-kawan KKN Desa Bermi yang aku banggakan,
Rekan-rekan KTP angkatan 2000,
Almamaterku.
vi
PRAKATA
Puji dan syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas
berkat limpahan rahmat dan hidayah–Nya, sehingga dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Meningkatkan Prestasi Belajar Melalui Pembelajaran
Quantum Teaching Bidang Studi IPA Kelas III Di SD Negeri Gunungsari 01
Kecamatan Batangan Kabupaten Pati”
Penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat
guna memeperoleh gelar sarjana pendidikan pada Program Studi Teknologi
Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
Kami menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan
dorongan dari berbagai pihak, untuk itu penulis tidak lupa mengucapkan
terimakasih kepada yang terhormat :
1. Bapak Dr. A .T Soegito, S.H, MM., Rektor Universitas Negeri
Semarang yang telah memberikan kesempatan dalam mengikuti
perkuliahan di UNNES sampai terselasaikannya skripsi ini.
2. Bapak Drs. Siswanto, MM, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah
memberikan kesempatan dalam pada penulis menyelesaikan
perkuliahan FIP UNNES sampai selesainya skripsi ini.
3. Bapak Drs. Haryanto. Ketua Jurusan Kurikulum dan Teknologi
Pendidikan, yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk
mengikuti perkuliahan di jurusan kurikulum dan teknologi pendidikan
sampai terselesainya skripsi ini.
vii
4. Bapak Drs. Hardjono Dosen pembibing I yang tak henti-hentinya
memberikan kritikan, saran dan masukan penting untuk kesempurnaan
skripsi ini.
5. Bapak Drs. Sukirman, M.Si Dosen pembibing II yang telah berkenan
memberikan bimbingan dan pengarahan dengan tulus iklas penuh
kebijaksanan serta kesabaran.
6. Ibu Nur Nawangsih Kepala Sekolah SD Negeri Gunungsari 01,
Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati yang telah memberikan ijin
untuk mengadakan penelitian.
7. Teman-teman seperjuangan Mahasiswa Teknologi Pendidikan Unnes
angkatan 2000/2001, terima kasih atas bantuan dan dukungannya dalam
penyusunan skripsi ini.
Semoga amal baik yang telah Bapak/Ibu/Saudara berikan mendapat
balasan dari Allah SWT (Amin..). Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat umumnya bagi para pembaca yang budiman dan khususnya bagi
jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
Universitas Negeri Semarang.
Semarang, Februari 2005
Penulis
viii
SARI
Nur Cahyono, Andrian. 2005. Meningkatkan Prestasi Belajar Melalui
Pembelajaran Quantum Teaching bidang Studi IPA Kelas III Di SD
Negeri Gunungsari 01 kecamatan Batangan Kabupaten Pati
Skripsi. Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan, Fakultas Ilmu
Pendidikan, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing: I. Drs. Hardjono,
II. Drs. Sukirman ,M.Si.
Kata Kunci : Prestasi Belajar, Quantum Teaching
Penyajian dalam pembelajaran Quantum Teaching merupakan model
pembelajaran yang ideal, karena menekankan kerja sama antara siswa dan guru
untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran ini juga efektif karena
memungkinkan siswa dapat belajar secara optimal, yang pada gilirannya akan
dapat meningkatkan prestasi belajar siswa secara signifikan. Rendahnya kualitas
pendidikan di Indonesia memerlukan penanganan yang segera. Oleh karena itu
penulis ingin memecahkan masalah dengan strategi pembelajaran Quantum
Teaching, karena strategi tersebut bisa diterapkan di SD. Tujuan penelitian ini
adalah ingin mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa melalui pembelajaran
Quantum Teaching bagi siswa SD Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan,
Kabupaten Pati.
Penelitian dilakukan di SD Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan,
Kabupaten Pati. Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan kelas. Adapun
yang menjadi subjek penelitian adalah siswa Kelas III SD. Variabel penelitian ini
adalah pembelajaran dengan metode Quantum Teaching sebagai variabel bebas
dan hasil belajar siswa sebagai variabel terikatnya. Data diambil menggunakan
teknik tes, dan observasi. Analisis data penelitian menggunakan analisis
deskriptif persentase dan uji t.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa sebelum
perlakukan adalah 6,1. Setelah dilakukan pembelajaran dengan menggunakan
metode Quantum Teaching pada siklus I hasil belajar siswa meningkat menjadi
6,6, pada siklus II hasil belajar siswa meningkat menjadi menjadi 7,3 dan siklus
III hasil belajar siswa meningkat menjadi 7,9. Secara keseluruhan dengan
penggunaan metode Quantum Teaching tersebut mampu meningkatkan hasil
belajar siswa sebesar 7,3. Hasil pengujian hipotesis dengan uji t diperoleh thitung =
6,935 > ttabel 1,77. Hal ini berarti metode pembelajaran Quantum Teaching dapat
meningkatkan prestasi mata pelajaran IPA siswa kelas III SD Negeri Gunungsari
01, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
Mengacu dari hasil penelitian, metode pembelajaran Quantum Teaching
mampu meningkatkan hasil belajar maka penulis mengajukan saran sebagai
berikut: 1) Sebagai bahan pertimbangan hendaknya guru IPA kelas III SD dapat
ix
melakukan pembelajaran IPA untuk kelas III SD dengan menerapkan metode
pembelajaran Quantum Teaching, sehingga pembelajaran menjadi lebih optimal
2) Dari hasil penelitian ini dapat dijadikan rujukan untuk memungkinkan
diadakannya penelitian lebih lanjut sehingga diperoleh kemampuan yang lebih
tinggi.
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii
PERNYATAAN............................................................................................... iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN................................................................... iv
PRAKATA....................................................................................................... v
SARI................................................................................................................. vii
DAFTAR ISI.................................................................................................... ix
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xii
DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................. 8
C. Batasan Masalah........................................................................ 9
D. Rumusan Masalah ..................................................................... 9
E. Tujuan Penelitian....................................................................... 9
F. Manfaat Penelitian..................................................................... 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS............... 11
xi
A. ....................................................................................................Kera
ngka Teoritik ........................................................................................ 11
1. Tinjaun Tentang Teknologi Pendidikan ....................................... 11
2. Tinjauan Tentang Belajar ............................................................. 15
3. Tinjaun Tentang Quantum Teaching …………………………... 24
4. Tinjaun Tentang IPA ................................................................... 31
5. Karakteristik Siswa....................... .............................................. 42
B. ....................................................................................................Kera
ngka Berpikir........................................................................................ 43
C. ....................................................................................................Hipot
esis........................................................................................................ 45
BAB III METODE PENELITIAN............................................................... 46
A. ....................................................................................................Pend
ekatan Penelitian .................................................................................. 46
B. ....................................................................................................Desai
n Penelitian .......................................................................................... 49
C. ....................................................................................................Defin
isi Operasional Dan Variabel Penelitian ............................................. 50
D. ....................................................................................................Setin
g Penelitian .......................................................................................... 51
E. ....................................................................................................Meto
de Pengumpulan Data.......................................................................... 51
xii
F. .................................................................................................... Instru
men Penelitian...................................................................................... 54
G. ....................................................................................................Ranc
angan Penelitian ................................................................................... 60
H. ....................................................................................................Tekni
k
A
na
lis
is
Da
ta
64
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.............................. 66
A. ....................................................................................................Loka
si penelitian .......................................................................................... 66
B. ....................................................................................................Hasil
penelitian ............................................................................................. 67
C. ....................................................................................................Pemb
ahasan penelitian .................................................................................. 76
BAB V PENUTUP.......................................................................................... 81
A. ....................................................................................................Simp
ulan ....................................................................................................... 81
xiii
B. ....................................................................................................Saran
81
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 82
LAMPIRAN..................................................................................................... 84
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Surat Ijin Penelitian .................................................................. 84
Lampiran 2 Surat Keterangan Penelitian...................................................... 85
Lampiran 3 Instrumen Penelitian ................................................................ 86
Lampiran 4 Hasil Analisis Uji Coba Instrumen Penelitian ......................... 105
Lampiran 5 Kreteria Penilaian Pengamatan .............................................. 123
Lampiran 6 Data Hasil Pengamatan Penelitian............................................ 124
Lampiran 7 Nilai Kondisi Awal ................................................................... 125
Lampiran 8 Nilai Tes.................................................................................... 126
Lampiran 9 Data Ketuntasan Hasil Belajar ................................................. 127
Lampiran 10 Uji t .......................................................................................... 128
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Kisi-kisi Materi Instrumen Penelitian ............................................. 54
Tabel 2 Hasil Uji Validitas Instrumen ......................................................... 57
Tabel 3 Tingkat Kesukaran Instrumen ........................................................ 59
Tabel 4 Tingkat Daya Pembeda Instrumen .................................................. 60
Tabel 5 Interval Kelas Presentase................................................................ 65
Tabel 6 Perbandingan Hasil Tes ................................................................... 77
xvi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Hubungan antar Kawasan Teknologi Pendidikan......................... 12
Gambar 2 Proses Penelitian Tindakan........................................................... 49
Gambar 3 Diagram Rata-rata Hasil Belajar Siklus I ..................................... 69
Gambar 4 Diagram Rata-rata Hasil Belajar Siklus II .................................... 72
Gambar 5 Diagram Rata-rata Hasil Belajar Siklus III................................... 75
xvii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keberhasilan proses pembelajaran sebagai proses pendidikan di suatu
sekolah dipengaruhi oleh banyak faktor. Faktor-faktor yang dimaksud
misalnya guru, siswa, kurikulum, lingkungan sosial, dan lain-lain. Namun dari
faktor-faktor itu, guru dan siswa faktor terpenting.
Pentingnya faktor guru dan siswa tersebut dapat dirunut melalui
pemahaman hakikat pebelajaran, yakni sebagai usaha sadar guru untuk
membantu siswa agar dapat belajar dengan kebutuhan minatnya.
Bahwa pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan
manusia kiranya merupakan hal yang tak dapat dibantah. Pada kenyataanya
pendidikan telah dilaksanakan semenjak adanya manusia, hakikatnya
pendidikan merupakan serangkian peristiwa yang komplek yang melibatkan
beberapa komponen antara lain: tujuan, peserta didik, pendidik, isi/bahan
cara/metode dan situasi/lingkungan. Hubungan keenam faktor tersebut berkait
satu sama lain dan saling berhubungan dalam suatu aktifitas satu pendidikan
( Hadikusumo, 1995;36).
Di Indonesia kesadaran akan pentingnya pendidikan telah disadari
sejak lama sebagaimana termaktub dalam UUSPN No. 20 pasal I ayat I Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan
1
xviii
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses belajar agar peserta
didik secara aktif membangun potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat bangsa dan
negara.
Dengan perkataan lain pendidikan merupakan suatu proses yang
melibatkan unsur-unsur yang diharapkan meningkatkan pendidikan yang
berkualitas. Guru sebagai unsur pokok penanggung jawab terhadap
pelaksanaan dan pengembangan proses belajar mengajar, diharapkan dapat
meningkatkan kualitas proses belajar mengajar, proses belajar mengajar
merupakan inti dari kegiatan transformasi ilmu pengetahuan dari guru kepada
siswa. Untuk mencapai efektifitas dan efisiensi tersebut, maka diperlukan
adanya strategi yang tepat dalam mencapai tujuan belajar mengajar yang
diharapkan.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dikatakan bahwa proses
pembelajaran di suatu sekolah pada hakikatnya adalah upaya yang dilakukan
oleh guru untuk membuat siswa belajar. Dengan demikian kegiatan di kelas
atau di sekolah yang tidak membuat siswa belajar tidak dapat disebut sebagai
proses pembelajaran.
Kenyataannya, siswa secara sendirian lebih-lebih siswa SD yang
masih lugu tidak dapat berbuat banyak tanpa campur tangan guru. Sebaliknya
guru pun tidak dapat berbuat banyak untuk keberhasilan pembelajaran tanpa
mendapatkan kerja sama yang baik dari siswa. Oleh karena itu antara guru dan
xix
siswa harus terjalin kerja sama yang kompak dan ada rasa “kesaling
bergantungan” demi terselenggaranya proses pembelajaran yang efektif untuk
mencapai tujuan secara optimal. Dengan demikian tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa di antara faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan
proses pembelajaran, guru dan siswa merupakan faktor terpenting. Kedua
pihak merupakan pelaku dalam pembelajaran.
Keadaan SD dengan sistem guru kelas, tidak menutup kemungkinan
banyak guru yang mengalami kesulitan dalam menggunakan strategi
pembelajaran yang tepat untuk mencapai tujuan belajar mengajar yang
diharapkan. Karena guru dituntut untuk mengejar target materi yang cukup
banyak dan harus diselesaikan pada setiap semester.
Dalam mata pelajaran IPA yang memerlukan banyak variasi metode,
media, maupun sumber belajar tak luput dari hal tersebut. Karena itu mata
pelajaran IPA terdapat materi yang memerlukan praktik kerja langsung.
Melalui praktik siswa akan memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru
melalui eksperimen.
Keberhasilan pengajaran IPA juga tergantung pada keberhasilan siswa
dalam proses belajar mengajar, sedangkan keberhasilan siswa tidak hanya
tergantung pada sarana dan prasarana pendidikan, kurikulum maupun metode.
Akan tetapi guru mempunyai posisi yang sangat strategi dalam meningkatkan
prestasi siswa dalam penggunaan strategi pembelajaran yang tepat.
Menurut kurikulum SD 1994/1995, pelajaran IPA diberikan sejak
kelas III sedangkan untuk kelas satu dan dua, diberikan secara terpadu pada
xx
mata pelajaran Bahasa Indonesia. Karena kelas tiga merupakan masa transisi
dari kelas dua yang dahulu hanya tujuh bidang studi, dan harus dapat
memahami isi yang dibaca. Kenyataannya, sebagian besar anak yang naik dari
kelas dua ke kelas tiga dapat membaca namun tidak paham apa isi
bacaannya.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada SD
Negeri Gunungsari 01 dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut: (1) Kondisi
lingkungan yang kurang kondusif, karena letak SD tersebut berdekatan
dengan jalan dan rumah penduduk, (2) Berdekatan dengan penggergajian
kayu. Dari situasi dan kondisi seperti ini mempengaruhi proses belajar
mengajar yang sedang berlangsung, seperti kebisingan suara gergaji, dan
banyaknya kendaraan yang berlalu lalang, sehingga perhatian siswa dapat
terganggu. Selain itu perhatian orang tua terhadap prestasi belajar anaknya
juga kurang, dengan bukti saat guru memberikan informasi tentang prestasi
belajar anaknya yang sangat menurun, banyak orang tua bersikap masa bodoh
ini yang menyebabkan penurunan prestasi belajar.
Berdasarkan hasil pengamatan tersebut di atas dapat dikatakan bahwa
proses pembelajaran di SD Negeri Gunungsari 01 tidak kondusif, sehingga
menyebatkan penurunan nilai mata pelajaran IPA. Adapun nilai mata pelajaran
yang diperoleh siswa SD tersebut pada tahun ajaran 2003/2004 dibawah nilai
standar yaitu 6,1, sedangkan nilai standar yaitu 6,5 maka dapat dikatakan
bahwa dalam pelaksanaan proses belajar mengajar tidak kurang optimal.
xxi
Salah satu model pembelajaran yang memungkinkan siswa belajar
secara optimal adalah model pembelajaran Quantum Teaching. Model
pembelajaran ini merupakan model percepatan belajar (Accelerated Learning)
dengan metode belajar Quantum Teaching. Percepatan belajar yang di
Indonesia dikenal dengan program akselerasi tersebut dilakukan dengan
menyingkirkan hambatan-hambatan yang menghalangi proses alamiah dari
belajar melalui upaya-upaya yang sengaja. Penyingkiran hambatan-hambatan
belajar yang berarti mengefektifkan dan mempercepat proses belajar dapat
dilakukan misalnya: melalui penggunaan musik (untuk menghilangkan
kejenuhan sekaligus memperkuat konsentrasi melalui kondisi alfa),
perlengkapan visual (untuk membantu siswa yang kuat kemampuan
visualnya), materi-materi yang sesuai dan penyajiannya disesuaikan dengan
cara kerja otak, dan keterlibatan aktif (secara intelektual, mental, dan
emosional).
Model pembelajaran ini menekankan kegiatannya pada pengembangan potensi manusia secara
optimal melalui cara-cara yang sangat manusiawi, yaitu: mudah, menyenangkan, dan
memberdayakan. Setiap anggota komunitas belajar dikondisikan untuk saling mempercayai
dan saling mendukung. Siswa dan guru berlatih dan bekerja sebagai pemain tim guna
mencapai kesuksesan bersama. Dalam konteks ini, sukses guru adalah sukses siswa, dan
sukses siswa berarti sukses guru.
Model pembelajaran Quantum Teaching mengambil bentuk “simponi”
dalam pembelajaran, yang membagi unsur-unsur pembentuknya menjadi dua
kategori, terdiri dari konteks dan isi. Konteks berupa penyiapan kondisi bagi
xxii
penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas, sedangkan isi merupakan
penyajian materi pelajaran.
Secara umum pembelajaran dengan model Quantum Teaching
menunjukkan ciri-ciri: (1) penggunaan musik dengan tujuan-tujuan tertentu,
(2) pemanfaatan ikon-ikon sugestif yang membangkitkan semangat belajar
siswa, (3) penggunaan “stasiun-stasiun kecerdasan” untuk memudahkan siswa
belajar sesuai dengan modalitas kecerdasannya, (4) penggunaan bahasa yang
unggul, (5) suasana belajar yang saling memberdayakan, dan (6) penyajian
materi pelajaran yang prima.
Penyajian dalam pembelajaran Quantum Teaching mengikuti prosedur
dengan urutan: (1) penumbuhan minat siswa, (2) pemberian pengalaman
langsung kepada siswa sebelum penyajian, (3) penyampaian materi dengan
multimetode dan multimedia, (4) adanya demonstrasi oleh siswa, (5)
pengulangan oleh siswa untuk menunjukkan bahwa mereka benar-benar tahu,
dan (6) penghargaan terhadap setiap usaha berupa pujian, dorongan semangat,
atau tepukan Bobbi DePorter (dalam Ari Nilandri, 1999-2001).
Penyajian dalam pembelajaran Quantum Teaching merupakan model
pembelajaran yang ideal, karena menekankan kerja sama antara siswa dan
guru untuk mencapai tujuan bersama. Model pembelajaran ini juga efektif
karena memungkinkan siswa dapat belajar secara optimal, yang pada
gilirannya akan dapat meningkatkan prestasi belajar siswa secara signifikan.
Oleh karena itu model ini perlu dilaksanakan di sekolah-sekolah.
xxiii
Kenyataannya, model pembelajaran tersebut belum banyak diterapkan
dalam proses pendidikan di Indonesia. Di samping model itu tergolong baru
dan belum banyak dikenal oleh komunitas pendidikan di lndonesia,
kebanyakan guru lebih suka mengajar dengan model konvensional, yaitu
model pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centred instruction).
Guru bertindak sebagai satu-satunya sumber belajar, menyajikan
pelajaran dengan metode ceramah, latihan soal atau drill, dengan sedikit sekali
atau bahkan tanpa media pendukung. Guru cenderung bersikap otoriter,
suasana belajar terkesan kaku, serius, dan mati. Hanya gurunya yang aktif
(berbicara), siswanya pasif. Jika siswa tidak dapat menangkap materi
pelajaran, kesalahan cenderung ditimpakan kepada siswa. Dinding kelas
dibiarkan kosong atau jika ada hanya mading kebanyakan hanya berupa
gambar pahlawan. 'I'idak ada ikon-ikon yang membangkitkan semangat dan
rasa percaya diri siswa. Pendek kata, proses pembelajaran tidak
memberdayakan dan membosankan. Dengan demikian proses pembelajaran
menjadi tidak efektif, dan karenanya tujuan pembelajaran tidak dapat tercapai
secara optimal.
Akibatnya mutu pendidikan sangat rendah. Bahkan untuk tingkat
ASEAN saja mutu pendidikan di Indonesia berada di bawah Vietnam, suatu
negara yang begitu lama dilanda kemelut dalam negeri (Depdiknas, 2002;1-2).
Rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia memerlukan penanganan
yang segera. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan
xxiv
inovasi di bidang pembelajaran. Pembelajaran dengan model pembelajaran
Quantum Teaching seperti diuraikan secara singkat di atas diduga dapat
mempercepat peningkatan mutu pendidikan melalui penyelenggaraan proses
pembelajaran yang berkualitas. Oleh karena itu model pembelajaran tersebut
perlu direspons secara positif, dalam arti diterapkan. Hal ini agar produk
pendidikan di Indonesia ke depan tidak terlalu jauh tertinggal dari produk
pendidikan negara-negara yang sudah terlebih dahulu maju sebagaimana kita
rasakan dewasa ini.
Berdasarkan alasan tersebut, penulis ingin memecahkan masalah
dengan strategi pembelajaran Quantum Teaching, karena strategi tersebut bisa
diterapkan di sekolah dasar. Seperti yang telah dikutip oleh Bobbi De Porter
(dalam Ari Nilandri, 1994;4) menyatakan bahwa Quantum Teaching
mencakup petunjuk spesifik, untuk menciptakan lingkungan belajar yang
efektif, merancang kurikulum, menyampaikan isi dan memudahkan proses
belajar.
B. Identifikasi Masalah
Berdasar latar belakang yang dikemukakan diatas diperoleh beberapa
identifikasi masalah sebagai berikut:
a) Adanya prestasi belajar untuk mata pelajaran IPA yang rendah.
b) Adanya faktor Lingkungan sekolah yang kurang mendukung dalam proses
belajar mengajar.
xxv
c) Kurangya perhatian siswa dalam proses kegiatan pembelajaran.
d) Adanya karektristik siswa yang berbeda serta kelebihan dan kelemahan
sehingga mempengaruhi penerimaan mata pelajaran IPA.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifiasi masalah yang ada tersebut, tidak semua diteliti karena keterbatasan waktu,
tenaga dan biaya yang dimiliki oleh peneliti, maka dalam penelitian ini dibatasi dan hanya difokuskan pada
permasalahan peningkatan prestasi belajar bagi siswa kelas III SD Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan,
Kabupaten Pati.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah, permasalahan yaitu: Apakah
pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan prestasi belajar siswa
untuk mata pelajaran IPA di SD Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan,
Kabupaten Pati.
E. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan, maka tujuan
yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu: Ingin mengetahui peningkatan
prestasi belajar siswa melalui pembelajaran Quantum Teaching bagi siswa SD
Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
F. Manfaat Penelitian
Adapun dua manfaat yang dapat diperoleh melalui penelitian ini, yaitu:
manfaat teoritis dan manfaat praktis.
xxvi
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian dapat memberikan masukan berharga berupa konsepkonsep,
sebagai upaya untuk peningkatan dan pengembangan ilmu.
b. Hasil penelitian dapat dijadikan sumber bahan yang penting bagi para
peneliti di bidang pendidikan.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi jajaran Dinas Pendidikan atau lembaga terkait, hasil penelitian
dapat dipertimbangkan untuk menentukan kebijakan bidang
pendidikan, terutama berhubungan dengan peningkatan mutu
pendidikan di sekolah.
b. Bagi Kepala Sekolah dan Pengawas, hasil penelitian dapat membantu
meningkatkan pembinaan profesional dan supervisi kepada para guru
secara lebih efektif dan efisien.
c. Bagi para guru, hasil penelitian dapat menjadi tolok ukur dan bahan
pertimbangan guna melakukan pembenahan serta koreksi diri bagi
pengembangan profesionalisme dalam pelaksanaan tugas profesinya
d. Bagi SD Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati
sabagai subjek penelitian, hasil penelitian ini dapat dijadikan alat
evaluasi dan koreksi, terutama dalam meningkatkan efektifitas dan
efisiensi proses pembelajaran sehingga tercapai prestasi belajar yang
optimal
xxvii
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kerangka Teoritik
1. Tinjauan Tentang Teknologi Pendidikan
a. Pengertian Teknologi Pendidikan
Menurut Assosiation For Education And Technology (1994;l)
“Intrument tecnology is the theory and praetice of' the sains Development
utilization, management and evalution of processes and resourses
forleraning”
Definisi ini diterjemahkan sebagai teknologi pembelajaran adalah
merancang mengembangkan, memanfaatkan, dan mengevaluasi prosesproses
dan sumber-sumber teknologi pembelajaran terbagi dalam beberapa
komponen. Hal ini sesuai dengan pendapat Barbara B. Seels dan Rita
Richcy (1994;9) yang menyatakan bahwa teknologi pembelajaran
meliputi:
1) Teori dan praktik.
2) Rancangan, pengembangan, pemanfaatan, pengelolaan dan evaluasi.
3) Proses dan sumber.
4) Untuk belajar.
Berdasar uraian tersebut, maka teknologi pendidikan merupakan
ilmu yang menaruh perhatian pada semua aspek belajar melalui sumbersumber
belajar, baik yang dirancang, dikembangkan, dikelola,
dimanfatkan dan dievaluasi baik secara langsung maupun tidak.
11
xxviii
Kawasan Teknologi Pendidikan menurut Barbara B. Seels dan Rita
Richey (1994;26) secara singkat adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Hubungan antar Kawasan Teknologi Pendidikan
PENGEMBANGAN PEMAKAIAN
Teknologi Cetak
Teknologi Audio
Visual
Teknologi Berasaskan
Komputer
Teknologi Terpadu
Pemakaian Media
Penyebarab Informasi
Implementasi dan pelembagaan
Peraturan
DESAIN
Desain Sistem
Instruksional
Desain Pesan
Strategi Instruksional
Karakteristik Siswa
EVALUASI
MANAJEMEN
Analisis Masalah
Pengukuran Acuan
Patokan
Evaluasi Normatif
Evaluasi Sumatif
Manajemen Proyek
Manajemen Sumber
Manajemen Sistem Penyimpanan
Manajemen Informasi
Berdasar gambar tersebut, maka kawasan teknologi pcndidikan
bersumber pada teori dan praktik yang digunakan untuk merancang,
mengembangkan, memanfaatkan, mengelola dan mengevaluasi proses
sumber belajar. Kawasan desain/rancang pesan meliputi sistem
instruksional, desain/rancang pesan, strategi instruksi dan karakteristik
TEORI DAN
PRAKTEK
xxix
siswa. Kawasan pengembangan meliputi teknologi cetak, teknologi audio
visual, teknologi dasar komputer dan teknologi terpadu. Kawasan
pemanfaatan meliputi pemanfaatan media, penyebaran inovasi,
implementasi kelembagaan, kebijaksanaan dan peraturan. Kawasan
pengelolaan terdiri dari pengelolaan proyek, pengelolaan sumber,
pengelolaan sistem pengiriman dan pengelolaan sistem informasi.
Sedangkan kawasan evaluasi meliputi analisa masalah, pengukuran
kriteria, patokan, evaluasi formatif dan evaluasi sumatif.
Kelima kawasan teknologi pendidikan tersebut lebih lanjut diuraikan
sebagai berikut
1) Kawasan Desain
Kawasan desain ialah proses menspesifikasi kondisi untuk belajar.
Tujuan kawasan ini menciptakan strategi dan produk pada level makro
seperti pembuatan program dan kurikulum, pada level mikro seperti
pembuatan satuan pelajaran dan modul. Kawasan desain mencakup
empat kawasan teori dan praktik yang meliputi desain sistem pembe
lajaran, desain pesan, strategi pembelajaran dan karakteristik yang
belajar.
2) Kawasan Pengembangan
Kawasan pengembangan adalah proses penterjemahan desain ke
dalam bentuk fisiknya. Kawasan pengembangan mencakup berbagai
variasi teknologi yang diterapkan dalam pembelajaran. Kawasan
pengembangan dapat diorganisasikan menjadi empat kategori yaitu
xxx
teknologi cetak, teknologi audio visual, teknologi berdasar komputer
dan teknologi terpadu.
3) Kawasan Pemanfaatan
Kawasan pemanfaatan adalah tindakan penggunaan proses dan
sumber untuk belajar. Individu yang terlibat dalam pemanfaatan
bertanggung jawab untuk mencocokkan si belajar dengan materi dan
kegiatan spesifik, mempersiapkan si belajar untuk berinteraksi dengan
materi atau kegiatan yang dipilih, memberikan bimbingan selama
keterlibatannya, memberikan penilaian hasil serta memadukan
pemakaian ini ke dalam kelanjutan prosedur organisasi. Kategori yang
termasuk kawasan ini adalah: pemanfaatan media, difusi dan inovasi,
implementasi dan institusionalisasi serta kebijakan dan peraturan.
4) Kawasan Pengelolaan
Kawasan pengelolaan atau manajemen melibatkan pengontrolan
teknologi, pembelajaran melalui perencanaan, organisasi, koordinasi
dan supervisi. Kompleksitas sumberdaya personil, desain dan upaya
pengembangannya terangkum dalam besarnya intervensi yang tumbuh
dari departemen sebuah sekolah sampai pada intervensi pembelajaran
berskala nasional. Ada empat kategori yang terdapat dalam kawasan
ini yaitu pengelolaan proyek, pengelolaan sumber, pengelolaan sistem
pengiriman atau penyebaran dan pengelolaan informasi.
5) Kawasan Evaluasi
xxxi
Kawasan evaluasi adalah proses penentuan kesesuaian pendidik
dengan si belajar. Evaluasi dimulai dengan analisis masalah. Analisis
masalah merupakan langkah awal yang penting dalam pengembangan
dan evaluasi pembelajaran, sebab tujuan dan hambatan pembelajaran
diperjelas dalam kawasan ini. Kategori kawasan ini adalah analisis
masalah, mengukuran kerancuan kreteria, evaluasi formatif dan
evaluasi sumatif.
Berdasar uraian tersebut, maka penelitian ini termasuk dalam
kawasan desain bagian Intructional system sumatif. Peneliti ingin
memecahakan masalah belajar dengan strategi baru.
2. Tinjauan Tentang Belajar
a. Pengertian Belajar
1) Menurut Teori Sibermatik
Teori belajar sibermatik seperti yang dikutip oleh Asri Budiningsih
(2002;78-79) adalah sebagai berikut:
"Belajar adalah pengolahan informasi. Teori ini mementingkan proses
belajar dari pada hasil belajar. Proses memang penting dalam teori
Sibermatik, namun yang lebih penting adalah sistem informasi yang
diproses itu yang akan dipelajari siswa. Informasi inilah yang akan
menentukan proses"
tokoh Gagne dan Bruner. Asumsi lain dari teori sibermatik adalah
bahwa tidak ada satu proses belajarpun yang ideal untuk segala
situasi dan cocok untuk semua siswa. Sebab cara belajar akan
ditentukan oleh sistem informasi yang menentukan dalam proses
xxxii
pembelajaran. Implementasi teori sibermatik dalam kegiatan
pembelajaran telah dikembangkan oleh
2) Menurut Teori Belajar Konstruktivistik yang ditulis oleh Von
Galserfelld.
Teori belajar konstruktivistik seperti yang dikutip oleh Asri
Budiningsih (2000;55-57) adalah sebagai berikut:
"Proses belajar kognitif - konstruktivistik, proses belajar jika
dipandang dari pendekatan kognitif, bukan sebagai perolehan
informasi yang berlangsung satu arah dari luar diri siswa melainkan
sebagai pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya
melalui proses asimilasi dan akomodasi yang bermuara pada
pemutakhiran struktur kognitifnya. Kegiatan belajar lebih
dipandang dari segi proses daripada perolehan pengetahuan dari
fakta-takta yang terlepas-lepas. Proses tersebut berupa “constructing
and restructuring of' knowledge and Skills (schemata) within the
individual in a complex network of increasing conceptual
consistency”. Pemberian makna terhadap obyek dan pengalaman
oleh individu tersebut tidak dilakukan sendiri-sendiri oleh siswa,
melainkan oleh interaksi dalam jaringan sosial yang unik, yang
terbentuk baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Pengolahan
pembelajaran harus diutamakan pada pengoIahan siswa dan
lingkungan belajarnya".
Peranan siswa (si belajar) menurut pandangan konstruktivistik,
belajar merupakan proses pembentukan pengetahuan. Ia harus aktif
melakukan kegiatan,aktif berpikir, menyusun konsep,
menyesuaikan dan memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari.
Guru memang dapat menata lingkungan namun pada akhirnya yang
paling menentukan terwujudnya gejala belajar tergantung niat
belajar siswa sendiri.
Paradigma konstruktivistik memandang siswa sebagai pribadi
yang sudah memiliki kemampuan awal sebelum mempelajari
xxxiii
sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar dalam
mengonstruksi pengetahuan yang baru. Meskipun kemampuan awal
tersebut sangat sederhana atau tidak sesuai dengan pendapat guru,
sebaiknya diterima sebagai dasar pembelajaran dan pembimbingan.
Peranan guru dalam belajar konstruktivistik adalah membantu agar
proses pengkonstruksian belajar oleh siswa berjalan lancar. Guru
tidak mentransfer pengetahuan melainkan membantu siswa untuk
membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk
memahami jalan pikiran siswa atau cara pandang siswa dalam
belajar.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian
yang meliputi:
a) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan.
b) Untuk mengambil keputusan untuk bertindak.
c) Menumbuhkan kemampuan mengambil keputusan dan
bertindak.
d) Dengan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan siswa.
e) Menyediakan sistem dukungan yang memberikan kemudahan.
f) Belajar agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih.
Sarana belajar dalam pendekatan konstruktivistik menekankan
bahwa peranan utama dalam kegiatan belajar adalah aktivitas siswa
dalam mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Sarana belajar
seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan fasilitas lain
xxxiv
disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa diberi
kebebasan untuk mengemukakan pendapatnya. Dengan cara
demikian, siswa terbiasa berlatih untuk berpikir sendiri dalam
memecahkan masalah yang dihadapi.
Evalusi belajar dalam pandangan konstruktivistik
mengemukakan bahwa lingkungan belajar sangat mendukung
munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap realitas,
konstruksi pengetahuan serta aktivitas yang lain yang didasarkan
pada pengalaman.
3) Menurut Winkel (1991;61)
Belajar adalah suatu aktifitas mental atau psikis yang berlangsung
dalam interaksi aktif dengan lingkungan pengetahuan, pemahaman,
ketrampilan, serta nilai sikap yang mana perubahan tersebut
bersifat relatif konsitan dan berbekas.
4) Menurut (Sudjana, 1989/1990;71)
Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya
perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil dari
berbagai bentuk seperti: perubahan, pemahaman, sikap tingkah
laku, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, serta perubahan aspekaspek
yang lain yang ada pada individu yang belajar
b. Ciri-Ciri Belajar
Dalam kegiatan belajar harus didapat didalamnya suatu tanda
atau ciri, sehingga seseorang dikatakan belajar. Karena ada seseorang
xxxv
dikata belajar tetepi justru yang terjadi adalah bermain. Walaupun ada
pemahan tentang belajar sambil bermaian atau bermain sambil belajar.
Untuk itu satu kegiatan dapat dikategorikan belajar harus mempunyai
ciri-ciri tertentu. Kegiatan belajar memiliki ciri-ciri. seperti:
1) Siswa berpartisipasi aktif meningkatkan minat dan tercapainya
tujuan instruksional. Berperan aktif dalam proses belajar mengajar
bukan berarti cukup mendengarkan saja dan bersikap diam untuk
tidak untuk mengganggu melainkan didalamnya ada proses
memperhatikan, mau bertanya, mencoba dan memberikan
tanggapan terhadap permasalahan pelajaran yang timbul berasal
dari siswa maupun dari guru itu sendiri. Dengan sikap aktif akan
berpengaruh positif terhadap hasil belalar.
2) Adanya interaksi antara siswa dengan lingkungan. Keputusan
siswa terhadap lingkungan terhadap mengakibatkan terhentinya
proses pemahaman terhadap materi ajar yang menjadi objek dalam
pembelajaran, sehingga proses itu harus berjalan melalui
bermacam penggalaman dan mata pelajaran yang terpusat pada
suatu tujuan tertentu. Pengalaman belajar bersumber dari suatu
kebutuhan dan tujuan peserta didik sendiri yang mendorong
motivasi secara berkesinambungan.
3) Belajar merupakan proses berkelanjutan hingga mendapat
pengertian yang mendalam, sehingga hasil belajar itu diterima oleh
xxxvi
peserta didik apabila memberi kepuasan pada kebutuhanya dan
berguna serta bermakna baginya. Kebermaknaan dalam belajar
menyangkut berbagai aspek kepribadian, baik fisik maupun psikis,
seperti perubahan dalam pengertian pemecahan suatu masalah
berpikir, ketrampilan, kecakapan, kebiasaan, ataupun sikap.
4) Mengembangkan kemampuan siswa kearah lebih maju dan baik,
hasil belajar yang telah dicapai bersifat kompleks dan dapat
berubah-ubah, jadi tidak sederhana dan statis.
c. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Belajar
Telah dikatakan bahwa pembelajaran adalah merupakan interaksi
edukatif antar siswa dan guru dimana siswa dipandang sebagai subjek
didik atau pelaku belajar. Dalam belajar tersebut siswa mengalami
sesuatu siswa yang menimbulkan suatu perubahan atau penambahan
tingkah laku dan atau kecakapan. Berhasil atau tidaknya pembelajaran
dapat dipengaruhi berbagai faktor.
Winkel (1986;19), mengemukakan beberapa faktor yang
mempengaruhi proses dan hasil belajar siswa sebagai berikut:
1) Faktor-faktor pada pihak siswa meliputi:
a) Faktor psikis yakni intelektual dan non intelektual. Faktor
intelektual mencakup intelegensi, kemampuan belajar dan cara
belajar. Sedangkan faktor non intelektual mencakup: motivasi
belajar, sikap, perasaan, minat dan kondisi, akibat keadaan
sosiokultural/ekonomis.
xxxvii
b) Faktor fisik yaitu kondisi fisik meliputi kelima indera, yaitu
indera penglihat, pendengar, peraba, pembau dan perasa.
Dalam pembelajaran kelima indera tersebut yang berperan
penting adalah pendengaran dan penglihatan. Kondisi fisik yang
lain mungkin dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar
siswa adalah: Apakah siswa tersebut cacat atau tidak? juga
keseimbangan bentuk tubuhnya.
2) Faktor-Faktor luar siswa meliputi:
a) Faktor belajar sekolah mencakup: kurikulum, pengajaran,
disiplin sekolah, guru, fasilitas belajar dan pengelompokkan
siswa.
b) Faktor sosial di sekolah mencakup: sistem sosial, status sosial
siswa dan interaksi guru serta siswa.
c) Faktor situasional mencakup: keadaan politik, ekonomi,
keadaan waktu dan tempat, keadaan musim, dan iklim.
Sedangkan menurut Ngalim Purwanto (1992;107), faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran adalah:
1) Faktor luar meliputi :
a) Lingkungan mencakup : lingkungan alam dan lingkungan sosial.
b) Instrumen mencakup: kurikulum bahan pelajaran, guru, sarana
dan fasilitas, administrasi/manajemen.
2) Faktor dalam meliputi:
a) Fisiologi yakni: kondisi fisik dan kondisi panca indera.
b) Psikologis yakni: bakat, minat, kecerdasan, motivasi dan
xxxviii
kemampuan kognitif.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa, proses dan
hasil pembelajaran dipengaruhi oleh faktor individual dan faktor dari
luar siswa yang disebut faktor sosial. Yang termasuk faktor individual
antara lain: faktor kematangan, kecerdasan, latihan, motivasi, dan
faktor pribadi. Sedangkan yang termasuk faktor sosial antara lain
faktor keluarga/keadaan rumah tangga, guru dan cara mengajarnya,
alat-alat yang dipengaruhi dalam pembelajaran, lingkungan dan
kesempatan yang tersedia serta motivasi sosial.
d. Pengertian pestasi belajar
Prestasi belajar menyangkut pengungkapan dan pengukuran hasil
belajar yang telah diikuti siswa selama proses belajar. Pengukuran ini
dapat diketahui bila akhir proses belajar diadakan penilaian. Dengan
mengadakan penilaian dapat diketahui tingkat keberhasilan dan tingkat
kegagalan siswa, sehingga dapat diketahui seberapa besar tingkat
prestasi belajar yang diraih oleh seorang siswa di samping faktor
intrinsik dan faktor ekslinsik. Dengan memperhatikan tahapan
perkembangan perilaku dan pribadi siswa, pendapat Gagne yang di
tulis oleh Syamsudin (2000;227) mengkategorikan pola belajar siswa
ke dalam tipe yang meliputi: (a) Tipe belajar signal atau isyarat, (b)
Tipe belajar mempertautkan/chaning, (c) Tipe belajar stimulus respon,
(d) Tipe belajar asosiasi verbal, (e) Tipe belajar mengadakan
xxxix
perbedaan, (f) Tipe belajar konsep pengertian, (g) Tipe belajar
membuat generalisasi, (h) Tipe belajar memecahkan masalah.
Tingkat prestasi belajar untuk tiap akhir proses pembelajaran
dapat dilihat dari hasil penilaian yang diadakan oleh guru penilaian ini
mencakup dalam suatu program pokok bahasan dalam suatu tatap
muka pembelajaran dan lebih operasional serta mudah dilihat. Dapat
dipahami bahwa penilaian dalam arti kompleks mencakup segala aspek
psikologis siswa. Penilaian dalam arti sempit ini sebagai bentuk untuk
mengukur keberhasilan siswa yang terformat dalam bentu evaluasi.
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu program
pembelajaran (Syah, 2000;14). Salah satu tujuan diadakannya evaluasi
diantaranya dapat dijadikan sebagai alat penetap apabila siswa
termasuk kategori cepat, sedang, ataupun lambat dalam arti mutu
kemampuan belajarnya. Berdasarkan hasil evaluasi yang dicapai siswa
tersebut maka dapat diketahui tingkat keberhasilan siswa. Tingkat
keberhasilan ini tidak berlangsung secara “instans” artinya diraih
begitu saja tanpa proses, melainkan lewat proses pembelajaran yang
diikuti siswa dan adanya kolerasi dengan tingkat kemampuan siswa di
samping ada faktor lain yang mempengaruhi seperti kondisi kesehatan,
kerajinan, kejenuhan dan lingkungan yang mencukupinya. Pada
prinsipnya, pengungkapan hasil belajar yang ideal meliputi segenap
ranah psikologi yang berubah sebagai akibat pengalaman dan proses
belajar siswa.
xl
Untuk mengetahui dan memperoleh ukuran dan hasil belajar siswa
adalah mengetahui garis-garis indikator sebagai petunjuk adanya
prestasi tertentu dikaitkan dengan jenis prestasi yang hendak
diungkapkan atau diukur. Oleh karena luasnya indikator yang menjadi
acuan, maka diperlukan batasan minimal prestasi belajar agar mudah
diukur. Hal ini penting karena mempertimbangkan batas terendah
prestasi siswa yang dianggap berhasil dalam arti luas bukanlah perkara
mudah, karena keberhasilan dalam arti luas berarti keberhasilan yang
meliputi ranah cipta, rasa, karsa siswa.
Maka prestasi belajar dapat diartikan sebagai hasil yang telah
dicapai baik itu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang diperoleh
dari stimulan pada lingkungan dan proses kognitif yang diperoleh dari
stimulan pada lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh
pembelajaran. (dalam hal ini penelitian hanya dilakukan untuk kognitif
saja) bentuk konkret dari prestasi belajar tersebut dapat dilihat dari
hasil nilai raport.
3. Tinjauan Tentang Quantum Teaching
a. Pengertian Quatum Teaching
Quantum Teaching menurut pendapat Bobbi DePorter (dalam
Ari Nilandri, 1999;56) adalah sebagai berikut :
"Quantum Teaching adalah berbagai interaksi yang ada di dalam
dan di sekitar momen belajar. Interaksi-interaksi ini mencakup unsurunsur
untuk belajar efektif yang mempengaruhi kesuksesan siswa.
Pembelajaran yang menyingkirkan hambatan yang menghalangi proses
xli
kegiatan belajar dengan cara sengaja mengggunakan musik/mewarnai
lingkungan sekeliling, menyusun bahan pengajaran yang sesuai
pengajaran yang efektif dan banyak mengaftifkan siswa.
b. Asas Quantum Teaching.
Asas utama Quantum Teaching menurut pendapat Bobbi
DePorter (dalam Ari Nilandri, 1999;56) adalah semua aspek
kepribadian manusia. Semua aspek itu meliputi pikiran, perasaan,
bahasa isyarat, pengetahuan, sikap dan keyakinan serta persepsi masa
mendatang.
Jadi belajar akan berhasil apabila dengan cara mengaitkan yang
diajarkan dengan suatu peristiwa, pikiran atau perasan yang diperoleh
dari kehidupan rumah. Belajar akan berhasil bila guru bisa memahami
keadaan siswa-siswanya, sehingga semua materi, pesan yang
disampaikan akan tertanam di hati siswa tersebut. Akhirnya dengan
pengertian yang lebih luas dan penguasaan lebih mendalam, siswa dapat
mengambil apa yang mereka pelajari ke dalam dunia mereka dan
menerapkannya pada situasi baru.
c. Prinsip-prinsip Quantum Teaching.
Menurut Bobbi DePorter (dalam Ari Nilandri, 1999;7)
Quantum Teaching berprinsip pada :
1) Segalanya berbicara
Segalanya dari lingkungan kelas hingga bahasa tubuh, bahasa
isyarat mereka, semuanya mengirim pesan untuk belajar.
2) Segalanya mempunyai tujuan.
xlii
Semua yang dilakukan guru mempunyai tujuan.
3) Pengalaman sebelum pemberian nama.
Otak kita bisa berkembang pesat dengan adanya rangsangan
komunikasi yang akan menggerakkan rasa ingin tahu, oleh karena
itu proses belajar paling baik terjadi ketika siswa telah mendapat
informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk mempermudah
mereka mempelajari.
4) Semua usaha siswa harus diakui.
Belajar mempunyai aturan, belajar berarti melangkah keluar dari
kenyataan. Pada saat siswa mengambil langkah ini, mereka pantas
mendapat pengakuan atas kecakapan dan kepercayaan diri mereka
sehingga merasa bangga dengan kemampuan yang mereka miliki
bisa menimbulkan minat yang lebih besar.
5) Jika pantas dipelajari maka pantas dirayakan.
Guru sebaiknya sering memberi hadiah kepada siswa yang berhasil
dalam menyelesaikan tugas dengan cepat dan benar. Dengan
pemberian hadiah berupa pujian, mereka akan merasa dihargai,
sehingga mereka akan selalu berusaha agar dapat memecahkan
masalah tugas yang diberikan.
d. Model Quantum Teaching
Model Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter (dalam Ari
Nilandri, 1999;8) hampir sama dengan sebuah syair lagu, kita dapat
membagi unsur tersebut menjadi dua kata ganti yaitu konteks dan isi.
xliii
Konteks adalah latar untuk pengalaman guru. Konteks meliputi:
lingkungan, suasana, landasan, dan rancangan. Isi, yaitu penyajian dan
fasilitas saat guru mengajar, unsur-unsur yang sama tertata dengan
baik, suasana lingkungan, landasan, penyajian dan fasilitas.
Dalam aksi konteks guru akan menemukan semua bagian yang
dibutuhkan untuk mengubah yaitu :
1) Suasana yang menyenangkan.
2) Landasan yang kukuh.
3) Lingkungan yang mendukung.
4) Rancangan belajar yang dinamis.
Di dalam isi, guru akan menemukan keterampilan cara
penyampaian kurikulum apa pun. Strategi yang dibutuhkan oleh siswa
yaitu: penyajian yang prima, fasilitas yang luwes, ketrampilan untuk
belajar dan ketrampilan hidup.
e. Kerangka Rancangan Belajar Quantum Teaching.
Kerangka rancangan belajar Quantum Teaching menurut Bobbi
DePorter (dalam Ari Nilandri, 1999;10) ada enam yaitu meliputi :
1) Tumbuhkan, artinya seorang guru dalam mengajar harus dapat
menimbulkan minat siswa untuk mengikuti pelajaran, dengan
berbagai macam, sehingga dengan minat yang ada maka
pembelajaran akan dapat berjalan dengan lancar.
2) Alami, maksudnya seorang guru dalam mengajar harus dapat
menciptakan pengalaman umum yang dapat dimengerti oleh
xliv
siswanya. Guru dalam mengajar memberikan contoh peristiwa
yang pernah dilihat anak-anak sehari-hari.
3) Namai, maksudnya, seorang guru dalam mengajar menggunakan
kata yang mudah dimengerti, rumus yang benar, memberi konsep
yang jelas, model yang mudah dimengerti, strategi yang mudah
dilakukan.
4) Demonstrasikan, maksudnya guru dalam mengajar memberi
kesempatan pada siswa untuk menunjukkan bahwa mereka tahu,
artinya guru dalam mengajar menggunakan alat peraga untuk
mendemontrasikan materi yang diajarkan, sehingga siswa akan
mudah mengingat isi pesan yang disampaikan oleh guru.
5) Ulangi, maksudnya guru dalam mengajar dapat menunjukkan cara
yang mudah untuk mengulang materi. Misalnya, dengan
memberikan rangkuman yang diajarkan tadi.
6) Rayakan, maksudnya seorang guru dalam mengajar dapat memberi
pengakuan atas usaha siswa untuk menyelesaikan tugas dan
pemerolehan keterampilan serta ilmu pengetahuan. Kelas dapat
menjadi rumah tempat siswa, tidak hanya terbuka terhadap umpan
balik, tetapi juga menjadi tempat untuk belajar, mengakui dan
mendukung orang lain, tempat mereka mengalami kegembiraan
dan kepuasan memberi dan menerima, belajar dan tumbuh.
f. Langkah Pembelajaran Quantum Teaching
xlv
Menurut Bobbi DePorter (dalam Ari Nilandri, 1999;14)
konteks menata tempat/arena belajar sebagai berikut :
1) Suasana kelas meliputi: bahasa yang dipilih guru, cara menjalin
rasa simpati dengan siswa dan sikap siswa guru terhadap siswa
dalam belajar.
2) Landasan adalah pedoman yang digunakan guru dalam
memberikan materi pelajaran.
3) Lingkungan adalah cara menata ruangan kelas, pencahayaan,
warna, pengaturan tempat duduk, pengaturan tanaman, musik
serta semua yang mendukung proses belajar.
4) Rancangan adalah penciptaan karakter unsur penting yang bisa
menumbuhkan minat siswa mendalami makna dan memperbaiki
proses serta tukar-menukar informasi.
g. Strategi Mengajar Quantum Teaching.
Strategi mengajar Quantum Teaching menurut Bobbi DePorter
(dalam Ari Nilandri, 1999 ;17) ada lima meliputi :
1) Kekuatan terpendam/niat
Niat seorang guru akan kemampuan dan motivasi siswa harus
terlihat jelas. Waktu pembelajaran berakhir guru memandang siswa
dengan cara yang menyakinkan, siswa dianggap dapat
menyelesaikan tugas dengan baik dan benar.
2) Peran Emosi dalam Belajar
xlvi
Memperhatikan emosi siswa dapat membantu guru mempercepat
pembelajaran mereka. Memahami emosi mereka dapat membuat
pembelajaran lebih berarti dan permanen. Guru menggunakan
keadaan positif siswa untuk menarik ke dalam pembelajaran, di
bidang mana mereka dapat mengembangkan kompetensinya.
Kuncinya adalah membangun ikatan emosional tersebut dengan
menciptakan kesenangan dalam belajar, menyakini hubungan yang
menyingkirkan segala ancaman dalam suasana belajar.
3) Segala Berperan Serta
Siswa menangkap pandangan guru lebih cepat dan akurat dari pada
menangkap apa yang diajarkan. Di sini guru memandang siswa
seolah seperti murid yang pintar. Guru dalam memberikan
pelajaran banyak senyum, banyak mengobrol dengan akrab, dan
berbicara dengan cara yang lebih intelektual dan penuh humor,
maka siswa akan merasa nyaman dalam menerima pelajaran.
4) Jalinan Rasa Simpati dan Saling Pengertian
Untuk menarik keterlibatan Siswa dalam belajar, guru bisa
menjalin hubungan, mengakui rasa simpati dan saling pengertian.
Hubungan yang harmonis, akan menimbulkan kehidupan bergairah
siswa. Bisa membuka jalan memasuki dunia baru mereka. Dengan
membina hubungan dengan mereka, maka siswa akan menerima
guru dan menerima apa yang diajarkannya.
5) Keriangan dan Ketakjuban
xlvii
Jika guru bisa menciptakan suasana yang menyenangkan, bisa
membuat siswa siap belajar, dan lebih mudah, dan dapat mengubah
sifat negatif serta memberi pengakuan terhadap siswanya, akuilah
setiap usaha semua orang senang diakui. Menerima pengakuan
membuat orang bisa merasa bangga, percaya diri dan bahagia.
Penelitian yang mendukung konsep bahwa kemampuan siswa akan
meningkat karena pengakuan guru.
Dalam kajian Garden Wells mengenai bahasa belajar anak, dia
mengutip :
“Jika diharapkan melakukan transformasi dengan mudah dan percaya diri,
mereka harus mengalami lingkungan baru, sekolah sebagai sesuatu yang
menggerakkan dan menantang. Dalam lingkungan ini sebagai usaha harus
berhasil dan mereka harus diakui sebagai diri mereka dan apa yang dapat
mereka lakukan…… anak yang merasa atau dibuat merasa”.
4. Tinjauan Tentang IPA
a. Pengertian IPA
Ilmu Pengetahuan Alam merupakan hasil kegiatan manusia,
berupa pengetahuan, gagasan dan konsep yang terorganisasi tentang
alam sekitar yang diperoleh dari pengalaman, melalui serangkaian
proses ilmiah, antara lain: penyelidikan, penyusunan, gagasan-gagasan,
(Departernen P dan K, 1994;93). Mata pelajaran IPA adalah program
untuk menanamkan dan mengembangkan pengetahuan dan
kemampuan, sikap dan nilai ilmiah pada siswa.
b. Hakikat IPA
xlviii
Einstein (dalam Hendro dan Kaligis, 1992;3) mengatakan,
“science is the attempt to make the chaotic diversity of our sense
experience correspond to a logreally uniform system of thought”.
Makna kalimat tersebut adalah bahwa IPA merupakan suatu bentuk
upaya yang membuat berbagai pengalaman menjadi suatu sistem pola
berpikir yang logis tertentu. Yang dimaksud dengan a logreally uniform
system of thought, ini tak lain adalah pada pikir ilmiah.
IPA tidak hanya dipandang sebagai kumpulan pengetahuan tetapi
juga dapat dipandang sebagai suatu metode. Bernal dalam bukunya
Serence in History Jilid I menyatakan bahwa lPA dapat dipandang
sebagai ( 1) Institusi, (2) Metode, (3) Kumpulan pengetahuan, (4) Suatu
faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan produksi, (5) Salah satu
faktor penting yang mempengarui sikap dan pendayaan manusia
terhadap alam. Khusus IPA sebagai metode, Bernal menjelaskan bahwa
dalam hal ini terlihat upaya berupa observasi. Eksperimen pengunaan
alat dan berbagai perhitungan matematik.
Bernal (dalam Hendro dan Kaligis, 1991;4) menyebutkan 2 fungsi
IPA yang sangat penting yaitu meningkatkan produksi dan untuk
mengubah sikap dan pendayaan manusia terhadap alam. IPA memang
dapat sebagai faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan produksi,
karena IPA menggunakan pendekatan eksperimentasi, dengan suatu uji
xlix
coba sehingga dapat diketahui dengan jelas faktor-faktor penghambat
untuk mencapai tujuan.
IPA tidak mengunakan tahyul dan mitos ataupun kepercayaan
yang kesemuanya itu akan menjurus pada peta kerja tradisional yang
tetap seperti itu dari zaman ke zaman. Bahwa 1PA berfungsi untuk
merubah sikap manusia terhadap alam semesta. Dapat digambarkan
sebagai berikut: Dahulu orang percaya bahwa pelangi adalah suatu
pembiasan cahaya oleh bentuk-bentuk air di udara. Dahulu orang
percaya bahwa gerhana bulan disebabkan bulan ditelan oleh kepala
raksasa sakti. Dengan lPA orang mengerti bahwa gerhana bulan terjadi
karena bulan tertutup oleh bayangan bumi.
1) IPA Sebagai Pemupukan Sikap
Mengingat kajian ini ditujukan untuk pengajaran 1PA di SD
maka pengertian “sikap” di sini dibatasi pada “sikap ilmiah terhadap
alam sekitar”. Menurut Herlen (dalam Hendro dan Kaligis 1991;7)
setidak-tidaknya ada sembilan aspek ilmiah yang dapat
dikembangkan pada usia Sekolah Dasar, yaitu:
a) Sikap ingin tahu (curiousity)
Sikap ingin tahu di sini maksudnya adalah suatu sikap
yang selalu ingin mendapatkan jawaban yang benar dari objek
yang diamatinya. Kata benar sini artinya rasional atau masuk
akal dan objektif atau sesuai dengan kenyataan. Anak usia SD
l
mengungkapkan rasa ingin tahunya dengan jalan bertanya.
Bertanya pada gurunya, temannya atau pada dirinya sendiri.
Adalah tugas guru untuk memberikan kemudahan bagi anak
untuk mendapatkan jawaban yang benar. Jawaban itu tidak
harus dari guru tetapi mungkin dapat diperolah anak itu sendiri
baik atas inisiatif sendiri, maupun atau petunjuk dari gurunya.
b) Sikap ingin mendapatkan Sesuatu yang baru (originality)
Sikap ini bertitik tolak dari kesadaran bahwa jawaban
yang telah mereka peroleh dari rasa ingin tahu itu tidaklah
bersifat final atau mutlak, tetapi masih bersifat sementara atau
tentatif. Hal ini disebabkan keterbatasan kemampuan berpikir
maupun keterbatasan pengamatan panca indra manusia untuk
menetapkan suatu kebenaran. Jadi jawaban benar yang telah
mereka peroleh itu sebatas pada suatu “tembok ketidaktahuan”.
Orang mempunyai sikap ingin mandapatkan sesuatu yang baru
adalah orang yang ingin menguak tembok ketidaktahuannya itu
untuk memperoleh suatu yang original meskipun ia tahu akan
sampai ke tembok ketidaktahuan berikutnya. Sikap anak usia
SD seperti itu dapat dipupuk dengan cara mengajaknya
melakukan pengamatan langsung pada objek-objek yang
terdapat dilingkungan sekolah. Data yang mereka peroleh akan
dapat memberikan sesuatu yang “baru” baginya tentang objek
yang diamatinya itu.
c) Sikap kerja sama ( cooperation)
li
Yang dimaksud dengan kerja sama di sini adalah kerja
sama untuk memperoleh pengetahuan yang lebih banyak.
Seorang yang bersikap cooperstive ini menyadari bahwa
pengetahuan yang dimiliki orang lain mungkin lebih banyak dan
lebih sempurna dari pada apa yang ia miliki. Oleh karena itu
untuk meningkatkan pengetahuannya ia merasa membutuhkan
kerja sama dengan orang lain. Kerja sama ini dapat pula bersifat
berkesinambungan. Kita dapat bayangkan betapa panjangnya
kerja sama yang berkesinambungan sejak ditemukannya listrik
sampai orang dapat membuat pesawat televisi. Anak usia
Sekolah Dasar memang perlu dipupuk sikapnya untuk dapat
bekerjasama dengan orang lain. Kerja sama itu dapat dalam
bentuk kerja kelompok, pengumpulan data maupun diskusi
untuk menarik suatu kesimpulan hasil observasi.
d) Sikap tidak putus asa (persevernce)
Suatu usaha apapun, biasanya ada saja hambatannya.
Seorang ilmuan mungkin saja telah menghabiskan waktu
bertahun-tahun dengan biaya yang banyak namun belum juga
memperolah apa yang ia cari. Namun ia tidak putus asa karena
ia tetap yakin bahwa kegagalan yang ia alami setidaknya
memberi petunjuk yang berguna bagi ilmuan lain untuk tidak
memberi petunjuk yang berguna bagi ilmuan lain untuk tidak
mengambil jalan yang serupa. Adalah tugas guru untuk
memberikan motivasi bagi anak didik yang mengalami
lii
kegagalan dalam upayanya menggali ilmu dalam bidang IPA
agar tidak putus asa
e) Sikap tidak berprasangka ( open mindedness)
Sejak awalnya IPA mengajarkan kepada kita untuk
menetapkan kebenaran berdasarkan dua kreteria yaitu
rasionalitas dan objektivitas. Percobaan benda jatuh bebas dari
Galileo mengingatkan kita bahwa “benar” menurut akal sehat
saja tidaklah cukup karena banyak yang kita pikir itu benar
ternyata itu keliru. Seperti halnya matahari beredar mengelilingi
bumi telah dipercaya orang akan kebenaranya selama ribuan
tahun lamanya. Munculnya faktor objektivitas dalam
menetapkan kebenaran menjadikan orang tidak lagi purba kala.
Sikap tidak purba kala dapat dikembangkan secara dini kepada
anak usia SD dengan jalan melakukan observasi dan eksperimen
dalam mencari kebenaran ilmu.
f) Sikap mawas diri ( self criticism)
Seorang ilmuan sangat menjunjung tinggi kebenaran.
Objektivitas tidak hanya ditujukan di luar dirinya tetapi juga
terhadap dirinya sendiri. Itulah sikap mawas diri untuk
menjunjung tinggi kebenaran. Anak usia SD harus
dikembangkan sikapnya untuk jujur pada dirinya sendiri,
menjunjung tinggi kebenaran dan berani melakukan koreksi
pada dirinya sendiri.
g) Sikap bertangung jawab (responsibility )
liii
Berani mempertanggungjawabkan apa yang telah
diperbuatnya adalah suatu sikap yang mulia. Sikap ini memang
bukan monopoli dari para ilmuan dalam mencari kebenaran
namun tidak ada satu orang pun yang tidak setuju bahwa anak
didik kita dipupuk menjadi manusia yang bersikap
tanggungjawab. Sikap bertanggungjawab harus dikembangkan
sejak usia SD, misalnya dengan membuat dan melaporkan hasil
pengamatan, hasil eksperimen ataupun hasil kerjanya yang lain
kepada teman sejawat, guru atau orang lain, dengan sejujurnya.
h) Sikap berpikir bebas (independence in thiking )
Katakan merah kalau memang bunga mawar itu
berwarna merah, katakanlah biru alir laut itu berwarna biru,
tetapi jangan katakan air laut itu asin karena guru (menyuruh)
mengatakan asin. Itulah gambaran berpikir bebas. Dalam dunia
ilmu pengetahuan, objektivitas merupakan unsur yang mutlak
diperlukan karena objektivitas merupakan salah satu kriteria
kebenaran ilmu.
i) Sikap kedisiplinan diri ( self discipline )
Menurut Morse dan Wingo (dalam Hendro dan Kaligis
1991;10) dalam bukunya Psychology and Teaching,
mengatakan bahwa kedisplinan diri dapat diartikan sebagai
kemampuan seseorang untuk dapat mengontrol adapun dapat
mengatur dirinya menuju kepada tingkah laku yang
dikehendaki dan yang dapat diterima oleh masyrakat.
liv
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa untuk sampai kepada
kedisplinan diri yang bertanggung jawab haruslah dimulai dari
suatu tahap dependence (tahap ketergantungan dari yang
membimbing), kemudian secara bertahap kontrol dari
ipembimbing dilepaskan untuk sampai kepada tahap
idenpendence (tahap tidak ketergantungan dari yang
membimbing) yaitu: tahap si anak menjadi dewasa untuk
mengatur atau mengontrol dirinya sendiri. Adalah tugas guru
untuk dapat mengatur kapan ia harus melakukan pengontrolan
secara penuh dan kapan ia harus melepaskan pengontrolan
secara bertahap dan tepat guna yang kesemuanya itu ditujukan
kepada terbentuknya kedisplinan diri pada anak didiknya.
Sebagai saran, salah satu bentuk pengembangan kedisplinan diri
adalah pengorganisasian kelas termasuk adanya regu-regu
kebersihan dan sebagainya yang dapat di atur sendiri oleh anakanak.
2) IPA Sebagai Produk
Tinjauan pendekatan IPA bukan hanya untuk memahami
pengetahuan tentang fakta-fakta, konsep-konsep, ketrampilanketrampilan
dan sikap-sikap yang diperlukan untuk mencapai
pengetahuan itu. Tujuan yang disebutkan pertama, dikenal dengan
pengembangan proses IPA. Tinjauan utama pendidikan IPA ialah
agar siswa memahami konsep-konsep IPA yang sederhana dan
saling keterkaitannya, serta mampu menggunakan metode ilmiah
lv
dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah yang dihadapinya
dengan lebih menyadari kebesaran dan kebiasaan pencipta alam
semesta (Hadiat, 1996;2). Jelaslah bahwa dari siswa dituntut bukan
hanya paham konsep-konsep 1PA, tetapi juga dituntut untuk
merefleksikan pengetahuan yang diperoleh ke dalam bentuk
teknologi yang mampu mensejahterakan kehidupan mereka serta
generasi berikutnya tanpa harus meninggalkan nilai-nilai positip
agama, budaya, serta pendidikan.
Untuk anak SD, metode ilmiah tentu dikembangkan secara
bertahap dan berkesinambungan, dengan harapan bahwa pada
akirnya akan terbentuk suatu paduan yang lebih utuh sehingga anak
SD dapat melakukan penelitian sederhana. Adapun pentahapan
pengembangannya disesuaikan dengan tahapan dari suatu proses
penelitian eksperimen, yang meliputi observasi, klasifikasi,
interprestasi, predikat, hipotesis, pengendalian variabel,
merencanakan, dan melaksanakan penelitian, informasi, dan
komunikasi.
3) IPA Sebagai ketrampilan Proses
Keterampilan proses sangat penting dikembangkan kepada diri
anak, alasannya: (I) Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi menjadi pesat pula sehingga tidak mungkin guru
“menyajikan” semuanya itu kepada anak didiknya. Oleh karena itu
anak perlu dibekali dengan alat atau ketrampilan untuk mencari dan
lvi
mengolah informasi dari berbagai sumber dan tidak dari guru.
Ketrampilan untuk dapat mencari dan mengolah informasi, itulah
yang disebut ketrampilan proses. Ketrampilan proses itu memang
mutlak diperlukan anak sebagai bekal dalam kehidupannya pada
masa yang akan datang, (2) IPA dapat dipandang dari dua dimensi
yaitu: dimensi produk dan dimensi proses sudah sejak lama bangsa
kita berpengalaman belajar IPA sebagai produk dan bukan sebagai
proses. Akibatnya adalah bahwa bangsa kita hanya sampai pada
kemampuan menggunakan IPA dan tidak pandai menghasilkan IPA
sebagai gambaran ialah bahwa sampai sekarang kita mengenal
berbagai teori dan hukum IPA yang berasal dari luar negeri,
misalnya Hukum Boyle, Hukum Archimides, Teori Mendel, Teori
Einstein dan sebagainya.
Oleh karena itu betapa pentingnya ketrampilan proses yang
dapat diartikan sebagai proses untuk mendapatkan ilmu itu diajarkan
kepada anak didik kita sehingga di masa yang akan datang bangsa
kita tidak saja pandai menggunakan IPA tetapi juga pandai
memproduksi 1PA. Dengan demikian bangsa kita akan dapat sejajar
dengan bangsa maju lainnya
Beberapa ketrampilan proses dalam pengajaran IPA (1)
Ketrampilan mengobservasi, (2) Ketrampilan mengklasifikasi, (3)
Ketrampilan menginterprestasi, (4) Ketrampilan mempredeksi, (5)
lvii
Ketrampilan membuat hipotesis, (6) Keterampilan mngendalikan
variabel, (7) Ketrampilan merencanakan dan melaksanakan
penelitian eksperimen, (8) Ketrampilan menyimpulkan (inferensi),
(9) Ketrampilan mengaplikasi (menetapkan), (10) Ketrampilan
mengkomunikasikan.
c. Teori Belajar tentang IPA
1) Teori Piaget
Proses dan perkembangan belajar anak SD memiliki
kecenderungan sebagai berikut: beranjak dari hal-hal yang
kongkret, memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
kebutuhan terpadu dan melalui proses manipulatif oleh karena itu
pembelajaran di SD harus direncanakan, dilaksanakan dan pada
gilirannya dinilai berdasarkan kecenderungan-kecenderungan di
atas. Definisi yang paling banyak dikenal adalah perubahan
perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman. Menurut definisi
kognitif belajar adalah suatu proses yang aktif' konstruktif dan
berorientasi pada tujuan yang kesemuannya tergantung pada
aktifitas mental peserta didik.
2) Teori Gestall
Menurut teori Gestall yang mengemukakan oleh Nafka dan
Wertheiner adalah “insight” merupakan inti dari belajar dalam
teori ini belajar diartikan sebagai proses untuk mendapatkan atau
untuk mengubah “ insight” pandangan harapan untuk atau pola
lviii
tingkah laku. Dengan mencermati teori Gestall dapat disimpulkan
bahwa belajar merupakan proses perubahan perilaku manusia
terjadi sebagai hasil latihan. Adapun aplikasi dari teori Piaget dan
teori Gestall terhadap pembelajaran IPA keduanya beranjak dari
hal-hal yang konkret, memandang sesuatu yang dipelajari sebagai
suatu keutuhan terpadu, dan melalui proses manipulatif, sehingga
terjadi perubahan perilaku yang diakibatkan oleh pengalaman.
5. Karakteristik Siswa
a. Pengertian Karakteristik
Karakteristik siswa adalah bagian-bagian pengalaman siswa yang
berpengaruh pada keefektifan belajar. (Barbara B. Seels dan Rita
Richey:1994). Karakteristik siswa bertujuan untuk mendeskripsikan
bagian-bagian kepribadian siswa yang perlu diperhatikan untuk
kepentingan rancangan pembelajaran.
b. Karakteristik Siswa SD
Menurut teori perkembangan Piaget yang dikutip oleh Asri
Budiningsih (2002;35), anak Sekolah Dasar termasuk pada tahap
operasional konkret (anak umur 7 atau 8-11atau 13 tahun). Anak telah
memiliki kecakapan berpikir logis akan tetapi hanya dengan benda
yang bersifat konkret. Operation adalah suatu tipe tindakan untuk
memanipulasi objek atau gambaran yang ada di dalam dirinya. Karena
kegiatan merupakan suatu proses tranformasi ke dalam dirinya
lix
sehingga tindakannya lebih efektif. Anak tidak usah perlu coba-coba
dan membuat kesalahan karena anak sudah berfikir menggunakan
model “kemungkinan” dalam melakukan kegiatan tertentu, ia dapat
menggunakan hasil yang telah dicapai sebelumnya. Anak mampu
menangani sistem klasifikasi. Walaupun ia sudah bisa melakukan
klasifikasi, ia tidak dapat sepenuhnya menyadari adanya prinsipprinsip
yang terkandung di dalamnya, anak sudah tidak memusatkan
diri pada karakteristik konseptual pasif. Untuk menyadari keterbatasan
berpikir, anak perlu diberi gambaran konkret sehingga anak mampu
menelaah persoalan. Anak usia 7-12 tahun masih mempunyai masalah
berfikir abstrak
B. Kerangka Berpikir
Berpijak pada masalah yang ada Quantum Teaching adalah suatu
pembelajaran yang dirancang untuk memudahkan anak untuk belajar, karena
pembelajaran Quantum Teaching merupakan pembelajaran yang dirancang
untuk membuat siswa senang, dari permulaan sampai akhir pelajaran. Dengan
keadaan yang menyenangkan itu siswa tidak merasa terbebani dalam menerima
pelajaran, karena dalam pembelajaran Quantum Teaching dirancang
sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengikuti pelajaran akan merasa
senang. Situasi yang menggembirakan itu semua materi yang diberikan oleh
guru akan mudah diterima oleh siswa. Dalam pembelajaran Quantum
Teaching, siswa mendapat perhatian apabila siswa dapat mengerjakan tugas
lx
dengan baik. Adanya penghargaan dari guru atau dari teman-temannya siswa
akan merasa termotivasi secara tidak langsung. Dalam pembelajaran Quantum
Teaching siswa juga mendapat pengakuan dari guru. Mendapatkan pengakuan
dari guru atau teman lain siswa akan merasa dihargai. Keadaan yang selalu
menggembirakan itu siswa akan selalu berlomba-lomba untuk menyelesaikan
tugas yang diberikan oleh guru, karena mereka tahu siapa yang dapat
menyelesaikan tugas dengan baik akan selalu mendapat perhatian secara
khusus. Dalam pembelajaran Quantum Teaching materi pembelajaran
diberikan dengan berbagai cara misalnya dengan menyanyi, dengan membaca
puisi, sehingga seolah-olah siswa tidak belajar, padahal mereka belajar dengan
penuh semangat. Guru dalam menyampaikan materi diikuti dengan humor,
sehingga siswa tidak merasa takut, tidak merasa berat dalam menerima
pelajaran. Guru dalam menjelaskan materi harus dapat menyederhanakan
rumus agar mudah dipelajari oleh anak. Lebih-lebih materi pelajaran IPA itu
banyak praktik, tidak hanya teori, anak diajak untuk mempraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan materi yang dipraktikkan siswa akan mudah
mengingat dari pada hanya teori. pembelajaran Quantum Teaching siswa juga
diperhatikan dalam cara-cara belajar yang mereka sukai sesuai dengan tipe
siswa masing-masing. Jadi siswa tidak harus duduk di kursi tetapi siswa bisa
memilih sesuai tipenya masing-masing. Dengan diberikan kebebasan di dalam
memilih siswa akan merasa bebas tidak terikat sehingga siswa tidak merasa
dipaksa harus begini. Dalam pembelajaran Quantum Teaching guru dianggap
mitra sehingga anak akan merasa bebas untuk bertanya pada guru, adapun
lxi
permasalahan dapat dipecahkan dengan baik. Dalam belajar siswa akan bebas
dari permasalahan, sehingga siswa mengikuti pelajaran dengan senang. Dalam
pembelajaran Quantum Teaching siswa akan bebas mengeluarkan pendapat.
Karena dia merasa diberi kebebasan, secara langsung, potensial akan
kelihatan, dengan anak memperlihatkan potensinya secara langsung
pengetahuan siswa mudah bertambah Bobbi DePorter (dalam Ari Nilandri,
1997;96). Dalam pembelajaran Quantum Teaching siswa diberi kesempatan
untuk memberikan wawasan, anak diberi kebebasan, untuk memilih sesuai
dengan kemauannya asalkan tidak menyimpang dari materi. Anak diajak untuk
mendemonstrasikan materi yang diajarkan, sehingga ingatan siswa akan tahan
lama. Dari pengalaman anak yang didapat dari demonstrasi tersebut ingatan
anak akan selalu tertanam. Dalam pembelajaran Quantum Teaching, menurut
Bobbi DePorter (dalam Ari Nilandri, I999;91-93) bakat anak akan digali
melalui berbagai cara misalnya dengan musik atau dengan menyanyi, bagi
anak punya bakat itu bakat anak akan terpupuk. Dengan menyanyi hati anak
akan senang. dengan menyanyi anak akan mudah menerima pelajaran. Karena
materi pelajaran bisa disampaikan dengan cara membaca puisi, dengan
bernyanyi bergembira, mendemonstrasikan secara langsung dengan melibatkan
anak itulah sebabnya, pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan
prestasi belajar.
C. Hipotesis
lxii
Hipotesis dalam penelitian ini adalah: Pembelajaran Quantum Teaching
dapat meningkatkan prestasi belajar IPA kelas III di SD Negeri Gunungsari 01,
Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
lxiii
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan penelitian
tindakan kelas. Penelitian ini disusun untuk memecahkan suatu masalah,
diujicobakan dalam situasi sebenarnya dengan melihat kekurangan dan kelebihan
serta melakukan perubahan yang berfungsi sebagai peningkatan. Upaya perbaikan
ini dilakukan dengan melaksanakan tindakan untuk mencari jawaban atas
permasalahan yang diangkat dari kegiatan sehari-hari di kelas. Penelitian tindakan
adalah merupakan upaya kolaboratif antara guru dan siswa, suatu kerja sama
dengan perspektif berbeda. Misalnya bagi guru, demi peningkatan profesi anaknya
dan bagi siswa peningkatan prestasi belajarnya. Bisa juga antara guru dan kepada
sekolah, kerja sama kolaborarif ini dengan sendirinya juga partisipasi setiap tim
secara langsung mengambil bagian dalam pelaksanaan PTK pada tahap awal
sampai akhir.
Definisi yang dikemukakan oleh Ebbut yang dikutip oleh Kasiani
Kasbolah (1988;14) adalah:
“Bahwa penelitian tindakan merupakan studi yang sistematis yang dilakukan
dalam upaya memperbaiki praktik-praktik dalam pendidikan dengan
melakukan tindakan praktis secara refleksi tindakan tersebut. Penelitian
tindakan juga digambarkan sebagai suatu proses yang dinamis, dimana
keempat aspek yaitu: perencanaan, tindakan observasi dan refleksi harus
dipahami, bukan sebagai langkah yang statis, terselesaikan dengan sendirinya,
tetapi merupakan maksud dalam bentuk spesial yang menyangkut perencanaan,
tindakan pengamatan dan refleksi. (Kemmis dan MC. Taggart, 1982) yang
dikutip oleh Kasiani Kashollah (1988;14)
46
lxiv
Dari definisi tersebut dapat dirumuskan bahwa penelitian tindakan kelas
adalah penelitian tindakan dalam bidang pendidikan yang dilaksanakan dalam
kawasan kelas dengan tujuan untuk memperbaiki atau meningkatkan kualitas
pembelajaran. Penelitian tindakan ini termasuk dalam penelitian tindakan kelas
yang berbentuk kolaboratif. Menurut Suyanto (1996;18) yang dikutip oleh
Kasiani Kasbolah (1988;123) bahwa penelitian kolaboratif melibatkan beberapa
pihak yaitu guru, kepala sekolah maupun dosen secara serentak dengan tujuan
untuk meningkatkan praktik pembelajaran, menyumbang pada perkembangan
teori, kolaboratif diberi makna kerja sama antar guru dengan peneliti dari luar
sekolah untuk melakukan penelitian tindakan kelas secara bersama di kelas atau di
sekolah. Peran guru dan peneliti adalah sejajar, artinya guru juga berperan sebagai
peneliti selama penelitian berlangsung. Inti penelitian ini terletak pada tindakan
yang dibuat kemudian diujicobakan dan dievaluasi, apakah tindakan alternatif ini
dapat memecahkan persoalan yang dihadapi dalam pembelajaran.
Penelitian tindakan mempunyai kelebihan dan kekurangan, seperti halnya
dalam penelitian lain. Kelebihan penelitian tindakan menurut Sumsky seperti yang
dikutip oleh Suwarsih Madya (1994;13-15) adalah sebagai berikut:
1. Kerja sama dalam penelitian tindakan menimbulkan rasa memiliki.
Dalam pembelajaran bertujuan untuk menimbulkan rasa memliki terhadap
siswa sehingga dengan rasa memiliki terhadap siswa merasa bertanggung
jawab.
2. Kerja sama dalam penelitian tindakan mendorong kualitas dan pemikiran kritis.
Dengan penelitian tindakan guru akan bertambah pengetahuan dan memiliki
lxv
pemikiran yang kritis dalam intropeksi diri tentang tugas yang dikerjakan
sebelum dilakukan penelitian tindakan.
3. Kerja sama meningkatkan kemungkinan untuk berubah.
Dengan kerja sama guru berusaha untuk merubah strategi yang diterapkan
sebelumnya dengan tujuan memperoleh hasil yang lebih baik.
4. Kerja sama dalam penelitian meningkatkan kesepakatan.
Dengan kerja sama, guru mempunyai kesepakatan bersama untuk menentukan
strategi yang tepat untuk diterapkan guna meningkatkan hasil belajar.
Adapun penelitian tindakan juga mengandung kelemahan sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan kurangnya pengetahuan dan keterampilan dalam teknik
dasar penelitian tindakan pada pihak peneliti.
2. Berkenaan dengan waktu.
3. Berhubungan dengan konsepsi proses kelompok.
4. Berkenaan dengan keuletan terhadap pertanyaan agar dapat meyakinkan orang
lain bahwa metode, strategi dan teknik yang diteliti benar-benar berjalan
secara efektif.
Meskipun penelitian tindakan mempunyai banyak kelebihan-kelebihan,
namun demikian kelemahan masih tetap ada yaitu dengan terbatasnya waktu,
biaya, serta sarana dan pra sarana yang mendukung.
Pendapat yang telah diuraikan mengenai pemilihan tindakan, sesuai
dengan penelitian yang dilakukan yaitu dengan mengadakan perbaikan tritmentritmen
untuk memperoleh peningkatan kualitas tindakan yang diberikan.
lxvi
B. Desain Penelitian
Model penelitian pada penelitian ini merajuk pada proses pelaksanaan
penelitian yang dikemukakan oleh Kemmis dan Taggart yang dikutip oleh
Suwarsih Madya (1994;25) yang meliputi menyusun rencana tindakan, bertindak,
melakukan refleksi dan merancang tindakan selanjutnya
Proses dasar tersebut dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Keterangan
0 = Perenungan 5 = Tindakan observasi
1 = Perenungan 6 = Refleksi
2 = Tindakan dan observasi 7 = Rencana terevisi II
3 = Refleksi 8 = Tindakan dan observasi III
4 = Rencana terevisi 9 = Refleksi III
Gambar 2 . Proses Penelitian Tindakan
lxvii
C. Definisi Operasional Variabel Penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian tindakan ini adalah
1. Prestasi pelajar dan Peningkatan Prestasi belajar
Prestasi belajar siswa dapat diartikan sebagai keberhasilan seorang siswa dalam
menguasai bahan atau materi yang telah diajarkan. Sedangkan peningkatan
prestasi belajar adalah sejauh mana penguasaan materi pelajaran oleh siswa
tersebut yang diukur dengan parameter nilai-nilai hasil tes yang dilaksanakan
dengan demikian akan terlihat nilai tes tersebut.
2. Pengertian Quantum Teaching
Quantum Teaching adalah suatu pembelajaran yang dirancang untuk
memudahkan anak untuk belajar. Pembelajaran Quantum Teaching merupakan
pembelajaran yang dirancang untuk membuat siswa senang dari permulaan
sampai akhir pelajaran. Dengan keadaan yang menyenangkan tersebut siswa
tidak merasa terbebani dalam menerima pelajaran, karena dalam pembelajaran
Quantum Teaching dirancang sedemikian rupa sehingga siapapun yang
mengikuti pelajaran akan merasa senang. Dengan keadaan yang
menggembirakan itu semua materi yang diberikan oleh guru akan mudah
diterima oleh siswa. Dalam pembelajaran Quantum Teaching, siswa mendapat
perhatian apabila siswa dapat mengerjakan tugas dengan baik. Selain perhatian,
penghargaan dari guru atau dari teman-temannya siswa juga akan mendukung
sehingga siswa akan merasa termotivasi dalam belajar sehingga dapat
meningkatkan prestasi belajar.
lxviii
D. Seting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di SD Negeri Gunungsari 01, Kecamatan
Batangan, Kabupaten Pati. Adapun yang menjadi subjek penelitian adalah siswa
Kelas III SD. Penelitian dilakukan pada semester II tahun 2004/2005 dan sebagai
tindaklanjut dari penelitian dilakukan pengamatan pada semester berikutnya.
E. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah cara-cara yang dapat digunakan oleh
peneliti untuk mengumpulkan data. Penelitian ini menggunakan metode
pengamatan (observasi), tes dan dokumentasi.
a. Observasi
Menurut Nasution (1988;59) metode pengamatan menghasilkan data berupa
kegiatan manusia dan situasi sosial serta kontak dimana kegiatan tersebut
berlangsung. Penggunaan metode observasi bertujuan yang menggambarkan
keadaan ruang, peralatan, para pelaku dan juga aktifitas sosial yang sedang
berlangsung.
Observasi meliputi observasi sistematis dan observasi non sistematis.
Observasi sistematis adalah observasi yang dilakukan oleh peneliti dengan
menggunakan instrumen pengamatan dan dilaksanakan pada waktu kegiatan
belajar berlangsung. Sedangkan observasi non sistematis adalah observasi yang
dilakukan oleh peneliti tanpa menggunakan instrumen pengamatan. Penulis
menggunakan observasi sistematis yang menggunakan pedoman berupa format
observasi. Adapun format observasi terdiri dari nomor urut, subjek, aspek yang
lxix
diobservasi. Aspek yang diobservasi terdiri atas perhatian dalam menerima
pelajaran, kerjasama, partisipasi dalam KBM, yang diamati yaitu perhatian
dalam menerima pelajaran, motivasi dalam menerima pelajaran, kerja sama
siswa dalam tugas kelompok dan partisipasi siswa dalam Kegiatan Belajar
Mengajar (KBM).
Hasil pengamatan yang dicatat adalah perhatian siswa dalam menerima
pelajaran, motivasi siswa dalam mengikuti KBM, kerjasama dalam
mengerjakan tugas kelompok dan partisipasi dalam KBM. Tanggapan dalam
KBM dan dampak tritmen tiap siklus.
Observasi menurut S. Margono (2000;160-161)
"Pencatatan data dengan alat dilakukan seperti check list. Perbedaannya
terletak pada kategorisasi gejala yang dicatat di dalam daftar rating scale
tidak sekedar terdapat nama abjad yang diobservasi dan gejala yang akan
diselidiki akan tetapi tercantum kolom yang menunjukkan tingkatan atau
jenjang setiap gejala tersebut. Penjenjangan mungkin mempergunakan skala
3, 5 dan 7, misal, baik, sedang dan buruk, (skala 3) sangat baik, baik, sedang,
buruk dan sangat buruk (skala 5) luar biasa, sangat baik, baik, sedang, buruk,
sangat buruk, luar biasa buruk (skala 7)"
Pada penelitian ini menggunakan penjenjangan skala 3 yaitu baik, sedang dan
rendah. Mengenai ketentuan obyek pengamatan termasuk kategori tinggi,
sedang dan rendah dapat dilihat pada lampiran.
b. Metode Tes
Tes adalah serentetan pertanyaan atau alat lain yang digunakan untuk
mengukur keterampilan, pengetahuan, intelejensi kemampuan atau bakat yang
dimiliki individu atau kelompok (Suharsimi Arikunto, 1996;138). Dilihat dari
sasaran yang akan dievaluasi dikenal beberapa macam tes dan alat-alat ukur
lxx
lain, yaitu tes kepribadian, tes bakat, tes intelegensi, tes sikap, tes minat dan tes
prestasi. Tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes prestasi yaitu tes
yang digunakan untuk mengukur pencapaian seseorang setelah mengerjakan
sesuatu.
Menurut Suharsimi Arikunto (1996;140) mengenai penyusunan tes prestasi
merumuskan beberapa prinsip dasar dalam pengukuran sebagai berikut:
1) Tes prestasi harus mengukur hasil belajar yang telah dibatasi secara
2) Jelas sesuai dengan tujuan instruskional.
3) Tes prestasi harus mengukur suatu sampel yang representatif dari hasil
belajar dan dari materi yang dicakup oleh program instruksional atau
pengajaran.
4) Tes prestasi harus berisi aitem-aitem dengan tipe yang paling cocok guna
mengukur hasil belajar yang diinginkan.
5) Tes prestasi harus dirancang sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan
penggunaan hasilnya.
6) Reliabilitas tes prestasi harus diusahakan setinggi mungkin dan hasil
ukurnya harus ditafsirkan dengan hasil.
7) Tes prestasi harus dapat digunakan untuk meningkatkan belajar para anak
didik.
c. Dokumentasi
Dokumentasi adalah metode penelitian ilmiah yang menggunakan dokumendokumen
sebagai bahan acuan untuk kepentingan penelitian. Dalam penelitian
ini, dokumen yang digunakan adalah daftar laporan pendidikan untuk nilai
IPA.
lxxi
F. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan oleh peneliti dalam
mengumpulkan data agar pekerjaan lebih mudah dan hasilnya lebih baik
(Suharsimi Arikunto, 1996;150). Alat yang digunakan oleh peneliti sebagai alat
pengumpul data adalah lembar observasi, tes dan dokumentasi. Jenis tes yang
dikembangkan oleh peneliti menggunakan soal-soal tes buatan guru (format
observasi dan soal tes ada pada lampiran).
Materi untuk instrumen yang digunakan dalam penelitian seperti tercantum
dalam tabel berikut :
Tabel 1. Kisi-kisi Materi Instrumen Penelitian
No Siklu
s
Pokok Bahasan Nomor
Item
Jumplah
1 1 Penyakit menular dan tidak menular
A .Penyakit menular
B. Penyakit tidak menular
1-25
25
2 2 Istirahat dan kesehatan
A. A. Perlunya aktifitas fisik dan isitirahat
B. Bentuk istirahat yang menyehatkan
1-25
25
3 3 Bumi
A. Permukaan bumi tidak rata
B. Permukan bumi terdiri dari daratan
dan lautan
1-25
25
Sumber: data primer diolah
lxxii
Sebelum digunakan untuk melakukan penelitian, maka instrumen penelitian harus diuji validitas dan reliabilitasnya
terlebih dahulu. Uji reliabilitas dilakukan untuk mengetahui angka korelasi baik antar item maupun antara instrumen
dengan obyek yang diteliti. Reliabilitas instrumen merupakan syarat utama untuk pengujian validitas instrumen, karena
instrumen yang reliabil belum tentu valid, tetapi jika instrumen valid sudah pasti reliabel, namun demikian perlu juga
untuk diuji reliabilitasnya (Sugiyono, 2002;268).
Menurut S. Margono (2000;171-172), syarat-syarat tes adalah sebagai
berikut:
1. Tes harus valid
Tes tersebut benar-benar dapat mengungkap aspek yang diselidiki secara tepat
dengan kata lain harus memiliki ketepatan yang tinggi.
2. Tes harus reliabel
Tes harus reliabel apabila tes tersebut mampu memberi hasil yang relatif tetap
apabila dilakukan secara berulang.
3. Tes harus obyektif
Apabila dalam memberikan nilai kuantitatif terhadap jawaban unsur
subyektivitas penilai tidak ikut mempengaruhi
4. Tes harus besifat diagnostik
Apabila tes memiliki daya pembeda dalam arti mampu memetak-metak
individu yang memiliki kemampuan yang tinggi sampai dengan angka yang
terendah dalam aspek yang akan diungkap
5. Tes harus efisien
Yaitu tes yang mudah cara membuatnya dan mudah pula penilaiannya.
Dalam pelaksanan ujicoba instrumen diujicobakan pada siswa yang
mempunyai karakteristik yang sama. Ujicoba ini dilakukan dengan tujuan untuk
lxxiii
mengetahui kelayakan instrumen sebagai alat untuk mengambil data. Uji
instrumen penelitian ini meliputi:
1. Validitas
Menurut Suharsimi Arikunto (1996) sebuah tes dikatakan valid jika tes
tersebut dapat mengukur apa yang hendak diukur. Validitas butir adalah butir
tes dapat menjalankan fungsi pengukurannya dengan baik, hal ini dapat
diketahui dari seberapa besar peran yang diberikan oleh butir soal tes tersebut
dalam mencapai keseluruhan skor seluruh tes. Untuk dapat mengetahui besarkecilnya
peran tersebut adalah dengan jalan mengkorelasikan antara skor yang
diperoleh dari butir tersebut dan skor totalnya dengan menggunakan korelasi
Point Biserial.
q
p
S
M M
r
t
p T
pbis

=
Keterangan :
rpbis = Koefisien point biserial
Mp = Mean skor dari subjek-subjek yang menjawab betul item yang dicari
korelasinya dengan tes
Mt = Mean skor total (skor rata-rata dari seluruh pengikut tes)
St = Standar deviasi skor total
p = Proporsi subjek yang menjawab betul item tersebut
q = 1 – p
(Suharsimi Arikunto, 1996; 270)
Setelah dihitung ritem dibandingkan dengan rtabel hasil korelasi product momen, dengan taraf
signifikan 5%, jika ritem > rtabel maka item dikatakan valid.
lxxiv
Berdasarkan hasil uji validitas dari ketiga instrumen tes yang digunakan
dalam penelitian ini terhadap 20 siswa diperoleh hasil yang terangkum pada
tabel berikut.
Tabel 2. Hasil Uji Validitas Instrumen Penelitian
Siklus Kriteria No soal Jumlah
Valid 1, 2, 3,4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20,21, 23, 24, 25
24 soal
1
Tidak
valid
22 1 soal
Valid 1, 2, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 19, 20,21, 22, 23, 24, 25
24 soal
2
Tidak
valid
3 1 soal
Valid 1, 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 18, 20,21, 22, 23, 24, 25
23 soal
3
Tidak
valid
6, 19 2 soal
Sumber : data diolah primer
Sebelum digunakan untuk pengambilan data penelitian, dilakukan perbaikanperbaikan
pada butir-butir soal tersebut.
2. Reliabilitas
Reliabilitas dihitung dengan teknik KR-21 dengan rumus sebagai berikut.









=

2
2
11
.
1 s
s p q
k
k
r
Harga r 11 yang diperoleh kemudian dikonsultasikan dengan r tabel product
moment dengan taraf signifikansi 5%, jika r hitung > r tabel maka soal dalam
kategori reliabel.
lxxv
Berdasarkan hasil analisis ujicoba instrumen diperoleh r11 untuk instrumen
siklus I sebesar 0,901, instrumen siklus II sebesar 0,902 dan instrumen siklus
III sebesar 0.853. Pada a = 5% dengan N = 20 diperoleh r product moment
sebesar 0,444. Karena koefisien reliabilitas dari ketiga insrumen tersebut lebih
besar dari rtabel, hal ini menunjukkan bahwa ketiga instrumen tersebut reliabel
dan dapat digunakan untuk pengambilan data penelitian.
3. Tingkat kesukaran
Menurut Suharsimi Arikunto (1996), Tingkat kesukaran merupakan
persentase jumlah siswa yang menjawab dengan benar. Besarnya indeks
dapat dihitung dengan rumus :
JS
B
P =
dimana:
P : Indeks kesukaran
B : Banyaknya siswa yang menjawab benar
JS : Jumlah siswa peserta tes.
Berdasarkan hasil uji tingkat kesukaraan soal dari ketiga instrumen tes
yang digunakan dalam penelitian ini terhadap 20 siswa diperoleh hasil seperti
terangkum pada tabel berikut.
Tabel 3. Tingkat Kesukaran Instrumen
Siklus Kriteria No soal Jumlah %
lxxvi
Mudah 3, 4, 5, 13, 18 5 soal 20%
Sedang 1, 2, 6, 7, 8, 9, 11, 12, 14,
15, 16, 20, 21, 22, 23, 24,
25
17 soal 58%
1
Sukar 10, 17, 19 3 soal 12%
Mudah 2, 3, 5, 6, 7, 13, 21, 23 8 soal 32%
Sedang 1, 4, 8, 9, 10, 12, 14, 15, 16,
18, 19, 20, 22, 25
2 14 soal 56%
Sukar 11, 17, 23 3 soal 12%
Mudah 4, 5, 7, 13, 19, 22 6 soal 24%
Sedang 1, 2, 3, 6, 8, 9, 10, 11, 12,
14, 15, 16, 18, 23, 24
3 15 soal 60%
Sukar 17, 20, 21, 25 4 soal 16%
Sumber : data diolah primer
4. Daya pembeda
Menurut Suharsimi Arikunto (1996), daya pembeda merupakan
kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai
(berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah).
Daya pembeda dilambangkan dengan D. Rumus yang digunakan adalah:
JB
BB
JA
BA
D = −
Keterangan:
J : Jumlah Peserta tes
JA : Banyaknya peserta kelompok atas.
JB : Banyaknya peserta kelompok bawah.
BA : Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab benar.
BB : Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab benar.
lxxvii
Berdasarkan hasil uji tingkat kesukaraan soal dari ketiga instrumen tes
yang digunakan dalam penelitian ini terhadap 20 siswa diperoleh hasil seperti
terangkum pada tabel berikut.
Tabel 4. Tingkat Daya Pembeda Instrumen
Siklus Kriteria No soal Jumlah %
Cukup 2, 7, 11, 13, 15, 17, 18, 19,
20, 21, 23, 25
12 soal 48%
Baik 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, 14,
16, 24
1 12 soal 48%
Jelek 22 1 soal 4%
Cukup 1, 2, 4, 5, 6, 8, 10, 11, 13,
15, 17, 18, 19, 23
14 soal 56%
Baik 3, 7, 9, 12, 14, 16, 20, 21,
22, 24
2 10 soal 40%
Jelek 22 1 soal 4%
Cukup 1, 2, 3, 5, 7, 8, 10, 11, 13,
15, 18, 20, 23, 24, 25
15 soal 60%
Baik 4, 9, 12, 14, 16, 17, 21, 22 8 soal 32%
3
Jelek 6, 19 2 soal 8%
Sumber : data diolah primer
G. Rancangan Penelitian
1. Rancangan Tindakan Siklus I
a. Rancangan Perencanaan
1) Guru mempersiapkan materi yang akan diajarkan.
2) Guru mempersiapkan alat peraga gambar orang kena penyakit.
3) Guru menugaskan kepada siswa untuk membawa buku tulis khusus
untuk catatan IPA.
4) Guru mempersiapkan lembar kerja untuk siswa.
lxxviii
b. Rancangan Tindakan
1) Siswa dikelompokkan menjadi kelompok yang terdiri dari 3-4 siswa.
2) Sebelum memulai pelajaran, siswa diajak untuk bernyanyi bersamasama.
3) Guru membagikan garnbar orang yang kena penyakit (orang sakit).
4) Guru menyuruh siswa untuk menuliskan nama penyakit yang terdapat
pada gambar tersebut, kemudian siswa disuruh mengucapkan bersamasama.
c. Rancangan Pengamatan
1) Guru mengamati motivasi siswa dalam menerima pelajaran.
2) Guru menyuruh semua siswa untuk mengerjakan lembar evaluasi.
3) Guru mengadakan penilaian terhadap hasil pekerjaan siswa.
d. Refleksi
Guru mengungkapkan hasil pengamatan terhadap siswa tentang kerjasama
dalam kelompok. Hasil pengamatan dicari pemecahannya, sehingga dalam
tindakan siklus II pada perbaikan. Dilakukan tindakan siklus II karena siklus
I belum bisa memenuhi target.
2. Rancangan Tindakan Siklus II
Rancangan siklus II diawali oleh waktu refleksi pada siklus I yang kemudian
menjadi evaluasi pelaksanaan pembelajaran yang digunakan untuk peningkatan
pelaksanan pembelajaran berikutnya.
a. Rancangan Perencanaan
1) Guru mempersiapkan materi yang akan disampaikan
lxxix
2) Sebelum memulai pelajaran, siswa diajak bernyanyi bersama-sama.
3) Semua siswa yang disuruh memperhatikan gambar-gambar tentang
materi aktifitas fisik dan istirahat.
4) Guru mempersiapkan lembar kerja untuk sisiwa.
b. Rancangan Tindakan
1) Guru mengajak bernyayi bersama sambil memberikan permainan.
2) Guru mengadakan tanya jawab terhadap kemampuan siswa untuk
menyebutkan aktifitas fisik dan istirahat.
3) Guru bersama siswa membuat semacam rumus untuk mempermudah
dalam menghafal pokok bahasan yang diajarkan, dengan cara
mengambil huruf pertama, kemudian siswa disuruh mengucapkan
secara kelompok.
4) Siswa diberi pertanyaan, apabila tidak bisa menjawab diberi hukuman.
c. Rancangan Pengamatan
1) Peneliti dan guru mengamati partisipasi siswa dalam mengerjakan tugas
kerja kelompok.
2) Guru menyuruh siswa untuk mengerjakan lembar kerja evaluasi.
3) Guru mengadakan penelitian terhadap hasil pekerjaan siswa.
4) Dampak perlakuan siklus II pada siswa.
d. Refleksi
Guru mengungkapkan hasil pengamatan terhadap siswa tentang partisipasi
siswa dalam mengerjakan tugas kelompok, sikap siswa dalam mengerjakan
lxxx
tugas dampak perlakuan siklus II. Dilakukan tindakan siklus ke III karena
masih belum mencapai target yang diharapkan.
3. Rancangan Tindakan Siklus III
a. Rancangan Perencanaan
1) Guru mempersiapkan materi yang akan di ajarkan.
2) Guru mempersiakan materi yang akan di bahas mengenai bumi,
permukaan rata dan tidak rata.
3) Guru mempersiapkan alat peraga berupa globe.
4) Guru mempersiapkan lembar kerja siswa
b. Rancangan Tindakan
1) Siswa diajak untuk bernyanyi bersama, menyelesaikan permainan dan
membaca puisi untuk membangkitkan minat belajar siswa.
2) Siswa memperhatikan penjelasan guru tentang materi bumi, permukaan
rata dan tidak rata
3) Guru memberi contoh permukaan bumi rata dan tidak rata.
4) Guru mengadakan tanya jawab tentang permukan bumi yang rata dan
tidak rata yang ada disekitar lingkungannya, bagi anak yang tidak bisa
menjawab pertanyaan di beri hukuman menyanyi, siswa yang bisa
menjawab di beri pujian.
5) Guru memberi hukuman bagi siswa yang tidak bisa menjawab, dengan
cara menyanyi, menari atau baca puisi.
c. Rancangan Pengamatan
1) Peneliti dan guru mengamati kegiatan siswa pada saat kerja kelompok.
lxxxi
2) Guru menyuruh siswa mengerjakan lembar evaluasi.
3) Guru mengadakan penilaian terhadap pekerjaan siswa.
4) Dampak perlakuan siklus III pada siswa.
d. Refleksi
Merenungkan kembali hasil pengamatan terhadap siswa tentang kerja sama,
partisipasi dan motivasi dalam kelompok, dalam mengikuti pelajaran dan
mengerjakan tugas, dampak perlakuan siklus III.
H.Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian tindakan di wakili oleh moment refleksi
putaran satu tindakan. Dengan melakukan refleksi, peneliti akan memiliki
wawasan autentik yang akan membantu dalam menafsirkan data (Suwarsih
Madya, 1994;33). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis
deskriptif dan persentase dan uji t.
1. Analisis deskriptif persentase
Untuk menentukan kategori keaktifan siswa dalam kelompok dibuat
tabel kategori yang disusun melalui perhitungan sebagai berikut :
a. Persentase tertinggi = (3/3) x 100% = 100%
b. Persentase Terendah = (1/3) x 100% = 33,33%
c. Rentang Persentase = 100%- 33,3% = 66,66%
d. Interval kelas = 66,66% :33,3% = 22,22%
e. Membuat tabel interval kelas persentase dan kategorinya adalah sebagai
berikut :
lxxxii
Tabel 5. Interval Persentase
Interval Persentase Kriteria
77,88% < % < 100%
55,66% < % < 77,88%
33,33% < % < 55,66%
Tinggi
Sedang
Rendah
Sumber: data diolah primer
2. Uji t
Untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini dilakukan dengan digunakan uji t yang dihitung dengan program
komputasi SPSS for Windows relase
lxxxiii
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Lokasi Penelitian
1. Deskripsi Lokasi Penelitian.
SD Negeri Gunungsari 01 terletak di Kelurahan Gunungsari, Kecamatan
Batangan, Kabupaten Pati. SD ini terdiri dari enam kelas dengan jumlah siswa
sebanyak 134 anak dengan didukung oleh tenaga pengajar yang terdiri dari 6 guru
kelas, 1 guru Agama Islam dan 1 guru Olah raga.
Fasilitas yang dimiliki SD Negeri Gunungsari 01 antara lain UKS,
Koperasi Siswa, Perpustakaan dan ruang bermain. di SD Negeri Gunungsari
01 juga diselenggarakan kegiatan yang bersifat ekstra kurikuler. Kegiatan
tersebut berupa Pramuka dan TPA. SD Negeri Gunungsari 01 juga pernah
meraih juara I pada kompetisi tahun 1997 seKabupaten Pati dan juara I
lomba tempat ibadah se Kabupaten Pati. Letak sekolah dekat dengan jalan
besar sehingga akses ke sekolah tersebut dapat dengan mudah dijangkau dari
arah manapun dengan jarak dari Ibukota Kecamatan ± 3 km dan dari Ibukota
Kabupaten ± 24 km.
2. Data Penelitian.
Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer
berupa data pengamatan terhadap prestasi siswa kelas III dalam pelajaran
IPA.
66
lxxxiv
B. Hasil Penelitian
1. Keadaan Awal Hasil Belajar Siswa
Sebelum pelaksanaan penelitian dengan menggunakan metode
Quantum Teaching, rata-rata hasil belajar IPA semester I kelas III SD
Negeri Gunungsari 01 menunjukkan adalah 6,1. Kondisi tersebut
menjadikan indikator pada penelitian ini bahwa kemampuan belajar IPA
siswa kelas III SD Negeri Gunungsari 01 adalah rendah.
Rendahnya kemampuan siswa tersebut di atas disebabkan karena siswa mengalami kesulitan
dalam mempelajari IPA. Berdasarkan hasil observasi pada waktu guru mengajar, menunjukkan
bahwa pembelajaran yang terjadi cenderung bersifat monoton, satu arah, kurang komunikatif,
cenderung bersifat ceramah, serta siswa kurang terlibat aktif.
Berdasarkan kajian awal tersebut, maka perlu suatu pendekatan
pembelajaran yang mampu meningkatkan situasi kelas yang kondusif,
siswa terlibat aktif dalam belajar, terjadinya komunikasi dua arah, serta
siswa meningkat motivasunya untuk belajar. Pembelajaran yang dimaksud
adalah pembelajaran dengan metode Quantum Teaching yang
dilaksanakan dalam tiga siklus.
2. Siklus I
a. Perencanaan
1) Guru mempersiapkan materi yang akan diajarkan.
2) Guru mempersiapkan alat peraga gambar orang terkena penyakit.
3) Guru menugaskan kepada siswa untuk membawa buku IPA
4) Guru mempersiapkan lembar kerja untuk siswa.
5) Guru membagi siswa menjadi kelompok yang terdiri dari 4 anak.
lxxxv
b. Pelaksanaan
1) Sebelum di mulai pelajaran anak di ajak menyanyi, untuk
menumbuhkan minat belajar
2) Anak-anak menyebutkan penyakit yang pernah dideritanya.
3) Anak-anak bersama guru memberi nama penyakit yang pernah
dideritanya tersebut.
4) Anak-anak bersama guru mendemonstrasikan gambar-gambar yang
ada hubungannya dengan macam-macam penyakit.
5) Anak-anak diajak menyanyi lagi baru kemudian mengulangi materi
yang telah diterangkan guru.
6) Anak-anak diberi pujian bila bisa menjawab pertanyan dari guru.
c. Pengamatan
Pengamatan terhadap siswa dilakukan dalam penerapan metode
pembelajaran Quantung Teaching.
1) Pengamatan terhadap kerja sama siswa dalam kelompok
Berdasarkan data hasil observasi kerja sama siswa dalam kelompok
saat pengajaran pada siklus I dengan metode Quantung Teaching
pada lampiran skor keaktifan siswa sebesar 52 dengan persentase
72,22% dan termasuk kategori sedang. Ditinjau dari keaktifan
masing-masing siswa, sebagian besar siswa cukup baik dalam kerja
sama kelompok, yaitu 9 dari 24 siswa atau 38,5% siswa dengan
kerja sama yang tinggi, sebanyak 10 dari 24 siswa atau 41,7%
lxxxvi
siswa dengan kerja sama yang sedang dan sebanyak 5 dari 24
siswa atau 20,8% siswa dengan kerja sama yang rendah.
2) Pengerjaan soal-soal siklus I
Perilaku siswa terhadap pengerjaan soal-soal siklus I ada yang
serius, ada yang masih acuh tak acuh, ada yang tampak bingung
dan belum jelas.
3) Nilai hasil tes siklus I
Berdasar data hasil tes siklus I pada lampiran dapat diketahui nilai
rata-rata hasil belajar siswa adalah 6,6. Naik dari nilai sebelum
dilakukan pembelajaran metode Quantum Teaching yaitu 6.1. lebih
jelasnya hasil belajar pada siklus satu tersebut dapat dilihat pada
diagram berikut ini :
lxxxvii
Gambar 3. Diagram Rata-rata hasil belajar siswa
siklus I
4) Dampak perlakuan siklus I
Siklus I yang diawali dengan perencanaan, tindakaan dan
pengamatan berpengaruh pada diri siswa. Pengaruh tersebut dapat
dilihat pada kerja sama siswa dalam kelompok dan hasil nilai tes
yang dilakukan.
Hasil belajar dapat diketahui peningkatannya yaitu pada nilai
sebelum dilakukan pembelajaran, rata-rata 6,1 dengan sesudah
dilakukan pembelajaran dengan metode Quantum Teaching, ratarata
6,6.
d. Refleksi siklus I
Berdasar hasil pengamatan menunjukkan adanya peningkatan hasil
belajar siswa meskipun ada siswa yang kurang dalam kerjasama dalam
kelompoknya. Beberapa siswa masih sibuk bermain sendiri, bentuk
pembelajaran yang diawali dengan menyanyi secara bersama-sama
menumbuhkan minat belajar yang lebih baik, namun kekurangannya
adalah bila siswa tersebut kurang suka bernyayi.
3. Siklus II
a. Perencanaan
1) Guru mempersiapkan materi yang akan diajarakan.
2) Guru mengatur kelas supaya siswa dapat mengikuti pelajaran
dengan baik.
lxxxviii
3) Guru mempersiapkan contoh gambar-gambar.
b. Pelaksanaan
1) Siswa mengelompok berdasar kelompok masing-masing.
2) Anak-anak diajak bernyanyi dan bermain untuk menumbuhkan
minat belajar.
3) Anak-anak menyebutkan aktifitas fisik dan istirahat yang mereka
ketahui di sekitarmya..
4) Anak-anak bersama guru mendemonstrasikan gambar-gambar yang
termasuk aktifitas fisik dan istirahat.
5) Anak-anak diajak mengulang materi secara bergilir.
6) Anak-anak diberi hukuman bila tidak bisa menjawab pertanyaan
dari guru.
c. Pengamatan
1) Pengamatan terhadap kerja sama siswa dalam kelompok
Pengamatan dilakukan dengan melihat partisipasi siswa dalam
kelompok. Berdasar hasil pengamatan pada lampiran menunjukkan
diperoleh skor 62 dengan persentase 86,11 dan termasuk kategori
tinggi. Ditinjau dari partisipasi masing-masing siswa dalam
kelompok, sebagian besar siswa yaitu 15 dari 24 siswa atau 62.5%
partisipasinya dalam kelompok tinggi, 8 dari 24 siswa atau 33.3%
partisipasinya dalam kelompok sedang dan 1 dari 24 siswa atau
4.2% partisipasinya dalam kelompok rendah.
2) Pengerjaan soal-soal Siklus II
lxxxix
Siswa mengerjakan soal dengan antusias, hal tersebut dikarenakan
minat belajar semakin tinggi setelah mendapat perlakuan siklus II.
Dalam mengerjakan soal tes kedua ini, siswa lebih serius, tidak
menoleh ke kanan dan kiri serta lebih cepat menyelesaikan soalsoal.
3) Nilai hasil tes Siklus II
Berdasar hasil penelitian pada lampiran, diketahui nilai rata-rata
hasil belajar siswa pada siklus II adalah 7.3 atau mengalami
kenaikan sebesar 0,7 atau 10,61% dari hasil belajajar rata-rata
siklus I. Lebih jelasnya kenaikan hasil belajar siswa pada siklus II
ini dapat diperhatikan pada diagram berikut.
Gambar 4. Diagram Rata-rata hasil belajar siswa siklus
II
4) Dampak perlakuan siklus II
xc
Siklus II diawali dengan momen refleksi siklus I, siklus II
berdampak pada diri siswa yaitu dengan adanya peningkatan nilai
tes. Hal tersebut dikarenakan semakin antusiasnya siswa dalam
mengikuti pelajaran.
d. Refleksi
Pengamatan yang dilakukan pada siklus II yaitu partisipasi siswa
terhadap kelompok menunjukkan bahwa partisipasi siswa dalam
kelompok sudah bagus, meskipun masih ada satu orang siswa yang
kurang dalam partisipasi kelompok.
4. Siklus III
a. Perencanaan
1) Guru menyiapkan materi pelajaran.
2) Guru mengatur siswa untuk dapat mengikuti pelajaran dengan
baik.
3) Guru mempersipkan alat peraga.
b. Pelaksanaan
1) Anak-anak berkelompok menurut kelompoknya masing-masing.
2) Anak-anak diajak menyanyi, bermain dan menari untuk
menimbuhkan minat belajar.
3) Anak-anak menyebutkan jenis permukaan bumi yang mereka
ketahui.
4) Anak-anak bersama guru menyebutkan jenis-jenis permukaan
bumi.
xci
5) Anak-anak bersama guru mendemonstrasikan permukaan bumi
dengan globe.
6) Anak-anak diajak mengulang materi secara bergilir bila kurang
lengkap guru melengkapi.
7) Anak diberi pujian bila bisa menjawab pertanyaan, serta anak
diberi hukuman bila anak tidak bisa menjawab pertanyaan dengan
menyanyi dan baca puisi di depan kelas.
c. Pengamatan
1) Pengamatan dilakukan terhadap kerja sama siswa dalam kelompok
Pengamatan dilakukan dengan melihat partisipasi siswa dalam
kelompok. Berdasar hasil pengamatan pada lampiran menunjukkan
diperoleh skor 67 dengan persentase 93,06 dan termasuk kategori
tinggi. Ditinjau dari partisipasi masing-masing siswa dalam
kelompok, sebagian besar siswa yaitu 19 dari 24 siswa atau 79,2%
partisipasinya dalam kelompok tinggi, 5 dari 24 siswa atau 20,8%
partisipasinya dalam kelompok sedang dan tidak ada satupun siswa
yang partisipasinya dalam kelompok rendah.
2) Pengerjaan soal-soal sklus III
Siswa secara antusias mengerjakan soal-soal yang ditugsakan
setelah mendapat perlakuan siklus II, dalam mengerjakan soal
siswa lebih serius dan tampak berlomba dalam menyelesaikan soalsoal.
3) Nilai hasil tes siklus III
xcii
Berdasar hasil tes siklus III pada lampiran diketahui nilai rata-rata
hasil belajar siswa adalah 7,9 atau mengalami kenaikan sebesar 0,6
atau 8,22 % dari nilai rata-rata hasil belajar siklus II. Lebih
jelasnya kenaikan hasil belajar siswa pada siklus III ini dapat
dilihat pada diagram berikut :
>>
Gambar 5. Diagram Rata-rata hasil belajar siswa siklus
III
4) Dampak perlakuan siklus III
Siklus III yang diawali dengan momen refleksi siklus II
berpengaruh pada hasil belajar siswa. Refleksi dari proses
pembelajaran pada siklus I, siklus II sangat berpengaruh terhadap
siklus III dalam peningkatan nilai siswa. Selain itu
diberlakukannya pembelajaran metode Quantum Teaching ini juga
menumbuhkan motivasi siswa dalam mengikuti pelajaran yang
ditunjukkan dari tingginya konsentrasi siswa dalam mengikuti
xciii
pelajaran, tidak ada siswa yang berbicara sendiri ataupun bermain
sendiri.
d. Refleksi
Hasil pengamatan yang dilakukan terhadap siklus III, siswa terlihat
semakin senang dan termotivasi untuk mengikuti pelajaran. Hal
tersebut terbukti dengan semakin meningkatnya nilai tes yang
diperoleh siswa. Siswa lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran.
C. Pembahasan
Penelitian tindakan kelas dengan tiga siklus ini dilakukan untuk
mengetahui peningkatan prestasi belajar bidang studi IPA kolas III SD Negeri
Gunungsari 01, dengan menggunakan metode pembelajaran Quantum
Teaching. Metode pembelajaran dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Siklus I
Kegiatan yang dilakukan adalah mengajak siswa untuk menyanyi sebagai
selingan dalam penyampaian pelajaran. Pengamatan yang dilakukan pada
siklus I ini adalah kerja sama siswa dalam kelompok berdasar pengamatan
yang dilakukan, hasilnya cukup memuaskan. Penyampaian materi
pelajaran diselingi dengan menyanyi, membuat siswa lebih terkonsentrasi
pada pelajaran sehingga meningkatkan nilai tes. Siswa kurang kerjasama,
masih ada yang bermain sendiri dan bahkan menyanyi sendiri.
2. Siklus II
Kegiatan yang dilakukan pada siklus II ini adalah mengajak siswa
menyanyi dan bermain sebagai selingan dalam penyampaian materi
xciv
pelajaran. Pengamatan yang dilakukan pada siklus 2 ini adalah partisipasi
siswa dalam kelompok. Berdasar pengamatan yang dilakukan, hasilnya
memuaskan. Penyampaian materi pelajaran dengan mengajak siswa
menyanyi dan memberi permainan yang menarik, membuat siswa lebih
giat untuk bekerja sama dengan kelompok sehingga intensitas partisipasi
siswa dalam kelompok sangat baik, dengan demikian nilai tes pun
meningkat.
3. Siklus III
Kegiatan yang dilakukan pada siklus III ini adalah mengajak siswa untuk
menyanyi, bermain dan menari sebagai selingan dalam penyampaian
pelajaran. Pengamatan yang dilakukan pada siklus III ini adalah motivasi
siswa dalam mengikuti pelajaran. Berdasar pengamatan yang dilakukan,
hasilnya sangat memuaskan. Penyampaian materi pelajaran dengan
menyanyi, bermain dan menari, membuat siswa lebih giat untuk mengikuti
pelajaran dari awal hingga akhir sehingga nilai tes mengalami
peningkatan.
Peningkatan hasil belajar IPA kelas III SD Negeri Gunungsari 01
setelah siswa dilibatkan secara aktif dalam pembelajaran dengan metode
Quantum Teaching tersebut diperoleh hasil seperti disajikan pada tabel
berikut:
Tabel 6. Perbandingan Hasil Tes
Nilai Tes
No.
Kode
Res.
Keadaan
Awal Siklus I Siklus II Siklus III
Rata-rata
xcv
1 S-01 6 6.7 6.5 7.4 6.9
2 S-02 6 7.1 7.8 8.7 7.9
3 S-03 7 7.5 8.3 8.7 8.2
4 S-04 6 6.3 6.5 7.8 6.9
5 S-05 7 7.1 7.8 8.3 7.7
6 S-06 7 6.7 7.0 7.8 7.1
7 S-07 5 7.1 8.3 8.7 8.0
8 S-08 7 6.7 7.4 7.8 7.3
9 S-09 6 6.3 6.5 8.3 7.0
10 S-10 8 6.7 7.4 8.7 7.6
11 S-11 6 6.3 7.4 8.7 7.4
12 S-12 7 7.1 7.8 9.1 8.0
Nilai Tes
No.
Kode
Res.
Keadaan
Awal Siklus I Siklus II Siklus III
Rata-rata
13 S-13 6 6.3 6.1 7.4 6.6
14 S-14 5 5.4 6.1 6.1 5.9
15 S-15 6 7.1 8.3 9.1 8.2
16 S-16 6 5.8 6.1 6.1 6.0
17 S-17 5 5.4 5.7 6.1 5.7
18 S-18 6 6.3 7.8 8.3 7.4
19 S-19 5 7.1 8.3 8.3 7.9
20 S-20 7 7.5 8.3 8.7 8.2
21 S-21 5 5.8 6.5 7.0 6.4
22 S-22 6 7.1 7.8 8.3 7.7
23 S-23 6 6.7 7.4 7.8 7.3
24 S-24 6 6.7 7.8 7.4 7.3
Jumlah 147 158.3 174.8 190.4 174.5
Rata-rata 6.1 6.6 7.3 7.9 7.3
Sumber : data diolah primer
Berdasarkan data pada tabel di atas, maka dapat dijelaskan
beberapa hal yang dipeoleh dari penelitian ini yaitu :
a. Nilai tertinggi tes I adalah 7,5 dan terendah 5,40. Nilai tertinggi tes II
adalah 8,3 dan terendah 5,7 sedangkan nilal tertinggi pada tes III
adalah 9,1 dan terendah 6,1.
b. Nilai hasil tes dari 24 orang siswa tersebut menunjukkan bahwa nilai
xcvi
rata-rata tes I sebesar 6,6, tes II sebesar 7,3 dan tes III sebesar 7,9.
c. Jumlah nilai rata-rata kelas sebesar 174,5 dan nilai rata-rata kelas
secara keseluruhan sebesar 87,3. Nilai rata-rata tertinggi sebesar 8,2
dan nilai rata-rata terendah sebesar 5,7.
d. Secara keseluruhan kenaikan nilai tes I-II sebesar 0,7 atau 10,61% dan
nilai tes II-III sebesar 0,6 atau 8,22% dan kenaikan rata-rata (kelas)
sebesar 1,1 atau 17,96%.
e. Secara keseluruhan (kelas) berdasar hitungan persentil, pada tes I, 10%
siswa mendapat nilai rata-rata kurang dari 6,000. Sebanyak 25% siswa
mendapat nilai rata-rata kurang dari 6,7625, sebanyak 50% siswa
mendapat nilai rata-rata kurang dari 7,875, sebanyak 75% siswa
mendapat nilai rata-rata kurang dari 8,475 dan sebanyak 90% siswa
mendapat nilai rata-rata kurang dari 8,925.
f. Pada tes I, 29% siswa mendapat nilai kurang dari 6,45 atau belum
mencapai ketuntasan hasil belajar. Pada tes II, 16,67% mendapat nilal
kurang dari 6,45 atau belum mencapai ketuntasan hasil belajar dan
pada tes III, 12,50% siswa mendapat nilai rata-rata 6,45 atau belum
mencapai ketuntasan hasil belajar dan 87,50% mendapat nilai lebih
dari 6,45 atau telah mencapai ketuntasan hasil belajar. Dengan
demikian dari hasil tes III tersebut menunjukkan bahwa ketuntasan
hasil belajar secara klasikal telah tercapai karena jumlah siswa yang
tuntas yaitu 87,50% telah melebihi batas minimal ketuntasan hasil
xcvii
belajar secara kalsikal sebesar 85%.
9. Uji hipotesis menunjukkan:
Ho = jika t hitung < t tabel maka Ho diterima Hi ditolak atau
Metode pembelajaran Quantum Teaching tidak dapat
meningkatkan prestasi mata pelajaran IPA siswa kelas III SD
Negeri Gunungsari 01, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
Ha = jika t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Hi diterima atau
Metode pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan
prestasi mata pelajaran IPA siswa kelas III SD Negeri
Gunungsari 01, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
10. Dari hasil uji t menunjukkan bahwa t hitung 6,935 dan t tabel untuk
signifikansi 5% (tingkat kepercayaan 95%) adalah 1,77, dengan
demikian t hitung > t tabel sehingga Ho ditolak dan Ha diterima atau
terbukti bahwa metode pembelajaran Quantum Teaching dapat
meningkatkan prestasi mata pelajaran IPA siswa kelas III SD Negeri
Gunungsari 01, Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
xcviii
xcix
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembasannya dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1) Penelitian menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa sebelum
perlakukan adalah 6,1. Setelah dilakukan pembelajaran dengan
menggunakan metode Quantum Teaching pada siklus I hasil belajar siswa
meningkat menjadi 6,6, pada siklus II hasil belajar siswa meningkat
menjadi menjadi 7,3 dan siklus III hasil belajar siswa meningkat menjadi
7,9. Secara keseluruhan dengan penggunaan metode Quantum Teaching
tersebut mampu meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 7,3. Hasil
pengujian hipotesis dengan uji t diperoleh thitung = 6,935 > ttabel 1,77. Hal ini
berarti metode pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan
prestasi mata pelajaran IPA siswa kelas III SD Negeri Gunungsari 01,
Kecamatan Batangan, Kabupaten Pati.
B. Saran
Atas dasar simpulan tersebut disarankan:
1) Sebagai bahan pertimbangan hendaknya guru IPA kelas III SD dapat
melakukan pembelajaran IPA dengan menerapkan metode pembelajaran
Quantum Teaching, sehingga pembelajaran menjadi lebih optimal.
2) Dari hasil penelitian ini juga memungkinkan diadakannya penelitian lebih lanjut
sehingga diperoleh kemampuan yang lebih tinggi.
81
c
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.(1994). Kurikulum Pendidikan Dasar GBPP Kelas III SD. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ari Nilandri (2001).Quantum Teaching :Orchestrating Student Succes (Bobbi
DePoter, Mark Reardon, Sarah Singer-Nourie,Terjemahan),Boston
:Allyn and Bacon. Buku asli diterbitkan tahun 1999.
Kasiani Kasbollah (1988). Pelitian Tindakan Kelas (PTK). Jakarta: Depdibud.
Margono.(1996). Metodologi Penelitian Pendidikan. Semarang : Rineka Cipta.
---------- (1999). Pelitian Tindakan (Action Research). Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Pendidikan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Umum
Nasution,S (1998). Metode Penelitian Naturalistik Kualistif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Ratna Wilis Dahar. (1996). Teori-Teori Belajar. Jakarta: Erlangga.
.
Gulo,W. (2002) Strategi Belajar Mengaja. jakarta: Balai Pustaka.
Sugiyono.(2002). Statistika Untuk Penelitian. Bandung: Afabeta.
Iskandar, srini M.(1997) .Pendidkan Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Depdibud
Dirjendikti.
Suharsimi Arikunto. (1996). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta : Bumi Aksara.
-------------(1993). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara.
Suwarsih Madya (1994). Panduan Penelitian Tindakan. Yogyakarta:Lembaga
Pelitian IKIP Yogyakarta.
Suyanto. (1996).Pendidikan Pelaksanaan Penelitian Tindakan kelas. Yogyakarta :
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Depertemen Pendidikan dan
Kebudayan.
Syamsudin, Abin. 2000. Psikologi kependidikan. Bandung: Rosdakarya.
Winkel,WS.1986. Psikologi pendidkan dan evaluasi belajar. Jakarta: Gramedia
.
ci
Hadiat. 1996. Alam Sekitar Kita 2. jakarta: Depdikbud.
Ngalim Purwanto. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosda Karya
Sudjana, Nana. 1989. Penelitian dan Penelitian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Syah, Muhibbin. 2000. Psikologi Dengan Pendekatan Baru. Bandung: Remaja
Rosdakarya
Seel, Barbara B dan Richey, Rita C (1994) Instructional tecnology. Washington:
AECT
Hadikusumo, Kunaryo, dkk. 1996. Pengatar Pendidikan. Semarang: Ikip
Semarang Pres
Depdiknas. 2002. Mutu Pendidikan Indonesia. Jakarta
Asri, Budiningsih. 2002. Teori-Teori Belajar. Bandung: Rosdakarya